“Ngik ....ngik” suara printer menemani kesendirianku di
kantor pagi ini. Satu per satu kertas keluar dari mesin cetak tersebut. Lamat-lamat
terdengar suara langkah-langkah mungil mendekatiku, namun aku masih asyik
memperhatikan antrian kertas yang keluar dari mesin cetak sederhana ini.
“Bu Rima... sedang apa?” suara putri cantikku memecah keheningan.
“Owh... aku lagi nge-print Kak” jawabku singkat.
“Buat apa itu bu?” tanyanya penuh selidik.
“Ini worksheet buat kita outin, aku baru sempat print sekarang Nai, maaf ya” ujarku menjelaskan.
Tak lama hening membersamai kami. Naira hanya mempehatikan
ku mengecek hasil print out dari
setiap kertas yang keluar. Wajahnya terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Aroma
tubuhnya yang khas anak kecil membuatku betah berlama-lama berada di
sampingnya.
“Bu..aku punya sesuatu untuk ibu” tuturnya membuyarkan perhatianku.
“Wah... senangnya. Apatuh Kak?” penasaranku membuncah.
Sret...sret suara resleting tasnya berdecit pertanda iya membuka tasnya. Tak lama sebuah amplop berwarna biru muda ke luar dari genggaman tangannya yang mungil.
“Ini bu, aku bikin ini untuk Bu Rima” tuturnya bersemangat.
“Masha Allah... apa itu Nai?” selidikku ingin tahu.
“Ini bu, aku bikin ini sendiri, karena ga ada amplop, jadi amplopnya juga aku bikin sendiri. Ada gambarnya juga loh Bu.” Jelasnya panjang lebar.
Sebuah amplop birulengkap dengan perangko buatan sendiri bergambar
perempuan berambut panjang tetiba mendarat di tanganku. Kertas HVS halus itu
terasa begitu spesial bagiku. Bentuknya yang sederhana dan unik menghadirkan
rasa tertentu di sudut kalbu. “Rabbi.... ini hadiah terindah diawal pagi”
batinku membisik.
“Terimakasih ya Nai, aku senang sekali mendapat hadiah dari Naira” sambutku smbari memeluk amplop biru muda itu.
“BuRima suka?” tanyanya antusias.
“iya kak, aku suka banget. Nanti aku baca ya kak. Terimakasih ya cantik” ucapku.
“Aku senang kalau Bu Rima senang” jawabnya dengan mata berbinar dan senyum mengembang.
“ya udah deh, aku Cuma mau kasih itu aja. Aku kelas dulu ya Bu. Dagh Ibu, assalamualaykum bu Rima” ujarnya menutup percakapan indah pagi ini.
Langkah Naira perlahan menjauh dariku. Kini tubuhnya
telah hilang dari pandangan mataku, aroma tubuhnya yang khaspun turut menguap
seiring dirinya yang makin menjauh dariku. Sepenggal kisah pagi ini telah mampu
hadirkan semangat dan optimisme baru dalam diri. Ada rasa berbeda di pelosok
relung hati. Entahlah... rasa apa namanya. Aku tak mau mendeskripsikannya. Namun
yang pasti kesimpulanku satu, sungguh bahagia itu sederhana. Tuhan..., bahagia
itu begitu dekat. Bahagia itu ada bersama guru-guru mungilku. Bahagia itu ada
di sini, meski hanya sepucuk surat beramplop biru muda.
0 comments:
Posting Komentar