Bismillahirrahmanirrahiim...
Rabu (4 feb) pagi
setelah buka kelas KBM diawal dengan Qur’an. Bu Dede sang guru Qur’an tengah
asik menyimak bacaan utsmani siswa satu persatu, semantara Hakim diamanhi tugas
memuraja'ah hafalan teman-temannya
yang sedang menunggu antrian membaca Utsmani. Sedangkan aku tengah asik
mempersiapkan materi pelajaran untuk besok. Lantunan surat Al-Fajr begitu indah
terdengar. Tak jarang bacaan yang keliru diluruskan oleh sang penanggung jawab
muraja’ah, Hakim. Sering dengan itu antrian utsmani pun terus berjalan. Setelah
Fawwaz menyelesaikan utsmaninya dengan bu Dede, ia segera menuju pos muraja’ah
bertemu Hakim. Antrianpun berjalan, tibalah giliran Fawwaz ‘menyetor’
hafalannya. Surat Al-Fajr begitu lancar ia baca tanpa salah sedikitpun. Dengan
aksen Australi-nya yang masih kental muroja’ah Fawwaz begitu enak dan renyah
didengar.
Sejenak ku
tatap layar laptopku, ditengah asiknya
ku menyiapkan materi untuk besok, tetiba mataku menangkap Hakim yang sedang
memukul Fawwaz. “stop.... Abang Stop!! Ada apa ini?” tanyaku terkejut dan hanya
dijawab oleh tangisan Hakim yang tetiba mengeras. Ku dekati Fawwaz, kutanya
perlahan dengan wajah datar’ “ada apa nak, kok Hakim memukul Fawwaz?” dengan
matanya yang berkaca-kaca Fawwaz hanya tersenyum kecut, ku tanya pada bu Dede, apa
yang terjadi? Ternyata Hakim ditimpuk jambu biji sebesar telur ayam kampung
oleh Fawwaz.
Sementara Hakim
tengah menangis memeluk kakinya sembari memendamkan wajah, Ku dekati Fawwaz,
ku tatap lembut wajahnya, ku berharap tatapanku tak menghakiminya. Ku tanya
perlahan sembari memeluknya, “ada apa Fawwaz, Fawwaz timpuk Hakim dengan jambu
biji?” pertanyaanku hanya dijawab anggukan oleh Fawwaz. “Fawwaz sedang
membayangkan apa dari jambu biji itu?” tanyaku sembari menahan kestabilan nada
bicara. “aku hanya ingin melihat daya pantul dan kecepatan pantulan dari jambu
biji ini, bu Rima” jawabnya dengan suara yang ditahan. “lalu?” tanyaku lagi.
“aku ga tau kalau jambu ini kena bibir Hakim, aku ga sengaja bu Rima” jawabnya
hampir terisak.
Ku peluk bocah 7
tahun itu, berharap pelukanku mampu meredakan ketakutannya. Ku belai
punggungnya. Ku coba samakan irama detak jantung kami agar ia kembali tenang. Setelah ku yakin jantung
kami seirama, ku coba katakan padanya
“Fawwaz, besok kalau Fawwaz mau melakukan project science, lihat
sekelilingmu ya nak, pastikan itu aman bagimu, aman bagi teman-temanmu. Atau
Fawwaz lakukan project science itu jika tidak ada teman di sekeliling Fawwaz
agar tidak ada yang terkena efeknya. Fawwaz mengerti maksud aku?” seketika
Fawwaz menatapku tajam dan ia menganggukan kepalanya. “Fawwaz boleh
bereksperimen, satu pesan aku, tetap jaga keamanan diri Fawwaz dan teman-teman,
oke?” tanyaku kembali. “iya bu Rima” jawabnya singkat. “oke sekarang aku mau
lihat Hakim dulu ya” ucapku menutup percakapan.
Ku hampiri Hakim
yang masih tersedu. Ku belai punggungnya, ku dekap tubuhnya sembari berkata,
“abang sudah mau cerita kejadiannya atau masih mau menangis?”. Pertanyaanku
hanya dijawab oleh isakan tangisnya yang begitu tersedu. Ku hapus air matanya
dengan tisu. Ku belai kembali punggungnya. Ku tunggu beberapa waktu hingga ia
tenang dan siap bicara. “boleh aku lihat bibir abang agar aku tahu apa yang
harus aku lakukan untuk menolong abang?” tanyakku menghentikan tangisnya. Hakim
mengangkat wajahnya dan tampaklah bibir kiri atasnya yang membengkak. Ngilu
tetiba merasuk tubuhku. Sambil berusaha tetap tenang dan tidak panik ku
tawarkan mengoleskan minyak butbut padanya. “abang mau aku oles pakai minyak
butbut? Akan terasa sedikit nyeri dan bau yang ga enak, tapi insya Allah ini
akan membuat bengkaknya cepat hilang dan sakitnya reda.” Ucapku meyakinkan.
Hakim menjawab dengan anggukan lemah. Segera ku ambil minyak but-but di kantor
dan ku oleskan di bibir nya yang membengkak. “Bismillahirrohmanirrohim, semoga
Allah menyembuhkan memar di bibir abang” doaku sebelum mengoleskan. “sabar ya
bang, tahan sakit dan baunya yang ga enak” sambungku lagi. “kalau Cuma bau, aku
mah tahan bu Rima” ucap Hakim mmbuatku tersenyum.
Setelah Hakim
tenang dan aku oleskan minyak di bibirnya kembali ku dekati Fawwaz. “Fawwaz
lihat bibir Hakim? Itu sakit nak, ingat pesan aku tadi ya. Kalau mau
bereksperimen lihat sekelilingmu, pastikan semua aman” kembali ku ulang pesanku
dan hanya dijawab dengan anggukan dan wajah penuh sesal dari Fawwaz. “Fawwaz
sudah siap minta maaf ke Hakim?” tanyaku penuh selidik. Fawwaz tersenyum
menjawab pertanyaanku dan segera menghampiri Hakim. Namun, Hakim yang masih
marah belum mau memaafkan Fawwaz. Ku katakan pada mereka berdua “jika kalian
sudah siap untuk saling memaafkan, maka lakukan sekarang. Kalau belum, jangan
berlama-lama menyimpan marah. Aku tunggu kalian untuk saling memaafkan ya.
Sekarang aku kembali ke pekerjaanku lagi.” Ucapku menutup percakapan.
Ku lanjutkan
pekerjaanku yang sempat terhenti, ku tatap layar laptop sembari memperhatikan
gerak-gerik para jagoanku di kelas. Tak sampai beberapa lama ku lihat Fawwaz
dan Hakim sudah kembali bermain bersama. Huft.... anak-anak, cepat marah dan
cepat kembali memaafkan. Alhamdulillah ketidak sengajaan ini berakhir damai.
Terimakasih ya nak, kalian kembali ajarkan aku untuk tidak panik dan menghakimi
suatu kejadian. Terimakasih nak, kembali kalian ingatkan aku untuk memaafkan
kesalahan orang lain.
0 comments:
Posting Komentar