Dua Wajah Hizbut Tahrir
Oleh: Sigit  Kamseno
 Copas dari :  http://www.facebook.com/notes/sigit-kamseno/dua-wajah-hizbut-tahrir/10150228158898111#!/notes/sigit-kamseno/dua-wajah-hizbut-tahrir/10150228158898111
Menjelang pembukaan sebuah acara pelatihan di  kawasan Puncak, Bogor, seorang teman yang bekerja di Kementerian Agama  menceritakan pengalamannya menjadi moderator dalam sebuah acara temu  konsultasi antara Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI dengan  Ormas-Ormas Islam di Indonesia. Sebagai seorang jebolan pesantren dan  sebuah Universitas Islam di Medan, wawasan keislaman teman saya ini  cukup luas dan moderat.
Saya tertarik dengan ucapannya  waktu itu, bahwa sebagai salah satu ‘ormas’ Hizbut Tahrir sesungguhnya  memiliki dua wajah. (by the way saya sepakat dengan kata  ‘ormas’ ini. Bahwa, Hizbut Tahrir secara de jure memang  terdaftar sebagai ormas di Indonesia, sekalipun seluruh syabab/aktivis  HT mengklaim diri sebagai partai politik non peserta pemilu).
Wajah  baik
Kata “dua wajah” ini  mengingatkan saya tentang fakta demokrasi, sebuah ideologi yang tak  henti-henti dihinadina dan dicerca habis-habisan oleh syabab Hizbut  tahrir. Selayaknya demokrasi yang memiliki dua wajah, yakni wajah baik  dan buruk, Hizbut Tahrir juga memiliki dua wajah. Wajah baik Hizbut  Tahrir, seperti sering saya apresiasi di setiap kuliah saya di hadapan  rekan2 mahasiswa dan dosen, adalah bentuk perlawanan mereka terhadap  dominasi ideologi yang dihembuskan oleh Negara adidaya Amerika Serikat  ke seluruh penjuru bumi. Semangat ini, saya pandang sebagai wajah baik  hizbut tahrir, karena sejujurnya saya termasuk dalam kalangan yang  memandang bahwa hembusan demokrasi yang dikipas2 oleh amerika ke banyak  Negara sebetulnya dipenuhi oleh banyak sekali kepentingan. Minyak, dan  usaha mempertahankan superioritasnya pada negara2 lain di dunia adalah  kepentingan terbesar AS  yang berlindung dibalik gaun demokrasi. Amerika  Serikat bahkan menyimbahkan genangan darah pada gaun demokrasi itu di  Afghanistan, Iraq, dan kini Libya. Hingga gaun itu terlihat bersimbah  darah dan terlihat amat buruk.
Dengan berlindung di balik  gaun demokrasi itulah, pemerintah AS menumpahkan darah2 manusia sehingga  tampak amat lengket di aspal-aspal jalan, di pagar-pagar perkampungan,  hingga di mimbar-mimbar masjid, sementara tangannya sibuk membawa  tangki2 minyak yang siap ia bawa pulang untuk berminum-minum di atas  meja makan nan indah dipenuhi obrolan-obrolan ‘ringan’: “Negara mana  lagi selanjutnya?”
Hizbut tahrir, menentang imperialisme  ini. Dengan tak henti menyebarkan wacana perlawanan terhadap ideologi  Amerika yg kini mendominasi dunia.  Di kampus-kampus, di dunia maya, di  masjid2, tak sulit bagi kita untuk mendapatkan leaflet, brosur, atau  bulletin kampanye Hizbut Tahrir ini. Meski perannya memang hanya sebatas  wacana (jujur sejauh ini saya belum melihat langkah riil HT  dalam “melawan” Amerika kecuali lewat seminar, jaulah tokoh, konferensi,  atau tulisan2 di media2 milik mereka, yang kesemuanya hanya berada pada  level ‘wacana’ semata.), namun saya pikir cukup berperan sebagai sebuah  counter wacana atas “keunggulan-keunggulan” demokrasi yang  merajalela di hampir seluruh dunia.
Melalui media HT,  meski bukan satu2nya faktor, tak sedikit diantara ummat Islam yang  akhirnya paham bahwa demokrasi, tak melulu unggul sebagai sebuah  ideologi.
Melihat hizbut tahrir dalam wajah“baik”nya ini,  mengingatkan kita pada karya-karya Karl Marx, Engels,  beserta  ‘binaan’2anya semacam Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, DN Aidit, Tan Malaka,  Fidel Castro, Hugo Chavez, atau mungkin Pramoedya Ananta Toer. Wajah HT  mirip dengan nama-nama tersebut, hanya saja HT duduk di jajaran kursi  sebelah “kanan”. Maksud saya, Di dalam pesawat yang hendak membombardir  kapitalisme dan demokrasi ini, Marx satu jajaran dengan Engels di bangku  sebelah kiri, sementara Taqiyuddin dengan Abdul Qadim Zallum berada  pada pesawat yang sama di jajaran sebelah kanan.
Bedanya  kaum komunis melakukan aksi berdarah-darah dalam perlawanan melawan  kapitalisme-demokrasi (dan saya tidak setuju dengan hal ini), sementara  HT tidak berdarah-darah tetapi berseminar2 dan berkonferensi-konferensi  (saya juga tak setuju dengan hal ini karena tidak kongkrit, rasanya  harus ada formula lain dalam membasmi racun kapitalisme ini yang cerdas  dan membunuh).
Bagaimanapun, saya selalu memberikan  apresiasi atas bentuk counter opinion terhadap sesuatu yang  dianggap wajar padahal zalim. Seperti kapitalisme dan demokrasi a la  amerika itu. Tanpa ada pihak2 yang berani melakukan counter,  maka kezaliman akan dianggap sebagai kelaziman. Selain itu, adanya  dialektika dari satu tesis dengan tesis lainnya. Meminjam istilah  filosof Jerman George Wilhem Friendrich Hegel, akan melahirkan absolute  idea atau the great spirit  yang akan membawa manusia pada kesempurnaan  konsep. Hizbut Tahrir berdiri sebagai antitesa, layaknya Daud melawan  raksasa tesis Demokrasi Amerika.
Wajah Buruk 
Eksplorasi  di atas adalah pembedahan saya dari obrolan ringan dengan teman yang  orang medan itu. Kemudian dia melanjutkan bahwa hizbut tahrir memiliki  satu wajah lagi: wajahnya yang buruk. Bukan buruk secara aqidah seperti  selama ini cukup ramai diperbicangkan, misalnya ketidakyakinan Hizbut  tahrir terhadap adanya siksa kubur, (utk hal ini baiknya diantara rekan  syabab ada yang memberikan klarifikasi karena point ini menjadi bola  liar untuk menghantam hizbut tahrir dari segi aqidah. Atau justru  memang kenyataannya demikian?), atau bagaimana seorang syabab HT  menafikan Nabi Ismail sebagai Rasul Allah sebagaimana dicetuskan di  dunia maya oleh seorang kakak kelas saya yang aktivis Hizbut Tahrir itu.  Laa haula wa laa quwwata illa billah, sebuah keyakinan yang  nyata-nyata bertentangan dengan al-Qur’an, (saya berharap itu hanya  pandangan pribadi kakak kelas saya yang—sekali lagi, aktivis hizbut  tahrir itu—atas kejahilannya terhadap al-Quran semata karena berpijak  pada definisi “Nabi” dan “Rasul” a la buku Materi Dasar  Islam yg dikaji oleh pemula2 di Hizbut Tahrir).
Saya  tak ingin membedah terlalu jauh masalah aqidah Hizbut Tahrir ini, di  dunia maya ada cukup banyak rekan yang saya pikir lebih kompeten utk  membedahnya.  Wajah buruk HT yang lain, menurut teman saya itu, adalah  penyerangannya yang membabibuta terhadap kelompok-kelompok lain.
Hal  ini mudah dipahami bahwa, sebagai jamaah yang berfokus pada “counter  opinion” terhadap ideologi asing, Hizbut Tahrir tak henti  melakukan propaganda agar publik memahami betapa busuknya kapitalisme,  sekularisme, dan demokrasi. Perjuangan meng-counter ideologi  ini memang mengharuskan syabab Hizbut Tahrir untuk melakukan propaganda  ke dalam opini masyarakat seperti yang mudah kita temui di masjid2,  kampus, atau di dunia maya seperti saya singgung di awal tulisan tadi.
Senyatanya,  propaganda ini merupakan sebentuk “dakwah” Hizbut Tahrir. Hampir  seluruh (atau memang seluruhnya?) aktivitas dakwah Hizbut Tahrir, mulai  dari bulletin, tabloid, majalah, jaulah, seminar, diskusi publik,  konferensi, demonstrasi, dan sebagainya  ditujukan untuk  mempropagandakan keagungan khilafah dan kebusukan ideologi dan sistem  politik selainnya.  Saya pikir tak ada masalah dengan hal ini, hanya  saja tampaknya Hizbut Tahrir “kelewatan” dalam melakukan “aktivitas  dakwah”nya.
Tak jarang dalam melakukan propaganda demi  mengopinikan keagunan khilafah yang dicita-citakan seraya  membusuk-busukan apa yang dipandang bertentangan dengannya, seperti  demokrasi misalnya, syabab Hizbut tahrir melakukan serangan pada  kelompok-kelompok Islam yang tak sepemandangan dengannya. Bagaimana  syabab Hizbut Tahrir misalnya, kerap mengeksploitasi habis-habisan  kelemahan kelompok lain agar tampak bahwa pemahaman HT-lah satu-satunya  yang paling benar. Jika ada satu kelemahan atau kekhilafan {‘kekhilafan’  ya, bukan ‘kekhilafahan’ :-)}  yang dilakukan kelompok dakwah lain,  maka serta merta syabab HT menjadikannya sebuah amunisi untuk kemudian  mengeksploitasi kekhilafan tersebut tanpa merasa perlu melakukan tabayun  atau  check and recheck yang merupakan sikap seorang  muslim.
Dalam lain kesempatan, syabab Hizbut Tahrir juga  memberikan predikat penuh propaganda sekaligus demarketisasi terhadap  sebuah partai dakwah islam di Indonesia dengan sebutan telah melakukan  “pelacuran politik”. Sebuah predikat terlampau kasar yang tak pantas  digunakan oleh seorang aktivis dakwah, apalagi sengaja disebar sebagai  sebuah demarketing terhadap partai dakwah tersebut dengan harapan agar  para pembaca mengalihkan dukungannya pada Hizbut Tahrir. Sebuah  megalomania ideologis yang mirip-mirip madzhab Machiavelli.
Dan,  sebagaimana tak sulit untuk menemukan media-media propaganda Hizbut  Tahrir setiap Sholat Jumat, ternyata pedasnya lisan aktivis Hizbut  tahrir juga mudah ditemukan di banyak tempat. Dalam interaksi di dunia  maya, kadang kelompok lain juga terpancing utk membalas, beberapa syabab  mungkin sudah melakukan screen shoot atau menyimpan link di  layar komputer utk menujukkan bahwa bukan hanya syabab yg berlaku  kasar, tapi perlu diketahui bahwa semuanya diawali oleh syabab Hizbut  Tahrir itu sendiri yg memang dituntut utk melakukan propaganda akan  keagungan khilafah dan kebusukan sistem lain itu. (Sekadar mengingatkan,  dakwah HT memang banyak berkutat pada propaganda politik  sehingga  segala macam “yang buruk2” tentang demokrasi akan di-blow up  habis2an, dan “segala yang buruk2” tentang sejarah khilafah akan  disimpan rapat2. )
Tak cukup menyerang aktivis dakwah  lain, Syabab HT juga menyerang para ulama. Terus terang saya betul-betul  terkejut ketika ada syabab HT menggelari al-Muhaddits Al-Syaikh Nashiruddin  al-Albani serta Syamahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah  bin Baz sebagai Ulama-ulama Su’, atau seburuk-buruk ‘ulama. Laa  hawla walaa quwwata illa billah.
Bahkan seorang ulama  Indonesia yang merupakan Imam Masjid Istiqlal, seorang pakar hadits dan  murid langsung dari ulama internasional al-Syaikh Musthafa al-A’zhami,  seorang ‘alim yg berbaris dalam jajaran ulama MUI, sekaligus Rais  Syuriah PBNU, dan anggota lajnah pentashih Mushaf al-Quran, yakni  al-Ustadz Dr. ‘Aly Musthafa Ya’qub, MA pun disesat2kan dan digelari  dengan sebutan ulama su’ (Ulama sesat) semata karena berbeda pandangan  dengan Hizbut Tahrir. Masya Allah. sebuah musibah bagi dakwah  Islam jika seorang pemuda da’i  yang baru belajar mengaji begitu berani  menyesat-nyesatkan ulama, apalagi tampak para syabab Hizbut Tahrir  saling tolong menolong dalam hal mencela ulama tersebut. 
Memang  hanya orang besar yang bisa menghormati orang besar. Meminjam istilah  ust. Farid Nu’man, Mereka (para pemuda itu) merasa telah menyelam ke  lautan dalam, padahal ilmu mereka masihlah di tepian pantai. Uang receh  memang berisik bunyinya.
Aktivis Hizbut Tahrir juga tak  jarang mencela HAMAS, sebuah gerakan perlawanan terhadap Israel yang  didukung oleh “sangat Mayoritas” rakyat Palestina, syabab HT juga  mencela Pemimpin Turki Recep Thayib Erdogan yang berupaya merubah  konsitusi sekular di Negara reruntuhan Khilafah ‘Utsmaniyyah itu, HT  juga mencela hasil usaha keras rakyat Mesir yang telah berlelah-lelah  dalam menggulingkan rezim Husni Mubarak semata karena tak menelurkan  hasil yang sesuai dengan keinginan HT. Ironisnya, di negara2 tersebut,  peran Hizbut Tahrir dalam membela kepentingan rakyat tak terdengar sama  sekali gemanya.
Propaganda kesekian kalinya adalah  “pembajakan” terhadap nama organisasi2 Islam. Dalam dunia maya, kita  bisa melihat betapa syabab HT melakukan propaganda yang melampaui batas  dengan mencatut nama Nahdhatul ‘Ulama, Muhammadiyyah, serta Kammi.  Nama-nama organisasi tersebut dibajak untuk dicantumkan dalam grup  facebook “mendukung khilafah”, sebuah grup yang ditujukan sebagai media  propaganda dan kampanye HT. Anda, rekan-rekan sekalian bisa bertanya  kepada para pengurus PBNU, Muhammadiyah, atau Kammi, apakah mereka  mengetahui pembuatan grup tersebut? Hizbut Tahrir seolah  ingin—maaf—“numpang tenar” dengan menggunakan nama besar organisasi  tersebut, seolah organisasi-organisasi besar itu mendukung ide2 mereka.  Hal ini mungkin dibutuhkan karena sejatinya Hizbut Tahrir memang hanya  organisasi kecil dengan pengikut yang relative sedikit. Dalam hal ini,  HT tampak memang telah kelewatan dalam melakukan “dakwah”nya.
Demikianlah,  wajah baik maupun wajah buruk Hizbut Tahrir, keduanya merupakan  “perlawanan” terhadap “musuh2” ideologisnya. Dalam dunia marketing,  cara2 mereka ini justru akan menjadi boomerang yang menghantam  “nama besar” Hizbut Tahrir itu sendiri. Bagaimana cara marketisasi  ideologi yg mereka lakukan, seperti tagging gambar-gambar ke account  aktivis dakwah lain secara berlebihan, atau melakukan spamming  link-link milik HT di grup-grup yang high rate yang diharapkan  akan menumbuhkan dukungan bagi Hizbut Tahrir , justru akan melahirkan  ‘kebencian’ terhadap Hizbut Tahrir itu sendiri. Kekecewaan terhadap  HIzbut thari ini tampaknya sulit dielakkan, bahkan seorang teman  mengatakan, “saya setuju khilafah, tapi bukan oleh Hizbut Tahrir. Karena  jika HT berkuasa, akan meletus perang dunia karena HT meyakini  perluasan wilayah yg tak henti2 utk menancapkan kekuasaannya di seluruh  penjuru bumi secara radikal.”
Sebuah imperialisme baru, bukan?
Wallahu  a’lam
Jakarta, 30 Juni 2011