Keahlian  medis dalam masalah merapikan gigi yang dikenal dengan istilah   orthodonti (orthodontics) merupakan nikmat Allah SWT kepada umat  manusia  untuk mengembalikan kepada fitrah penciptaannya yang paling  indah (fi ahsani taqwim)  yang patut disyukuri dengan  menggunakannya pada tempatnya dan tidak  disalahgunakan untuk memenuhi  nafsu insani yang kurang bersyukur. Oleh  karena itu Islam sangat  memuliakan ilmu kesehatan dan kedokteran sebagai  alat merawat kehidupan  dengan izin Allah swt. Ia bahkan memerintahkan  kita semua sebagai  fardhu ‘ain (kewajiban personal) untuk mempelajarinya  secara global dan  mengenali diri secara fisik biologis sebagai media  peningkatan iman  dan memenuhi kebutuhan setiap individu dalam  menyelamatkan, memperbaiki  dan menjaga hidupnya.
Firman Allah swt. yang artinya:
“Dan  di bumi terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang  yang  yakin. Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak   memperhatikan.?” QS. Ad-Dzariyat ( 51) : 20, 21)
Sabda Nabi SAW:
“Berobatlah  wahai hamba Allah! karena sesungguhnya Allah tidak  menciptakan penyakit  melainkan Ia telah menciptakan pula obatnya,  kecuali satu penyakit,  yaitu tua.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan  Tirmidzi).
Islam juga  menetapkan fardhu kifayah (kewajiban kolektif) dan  menggalakkan adanya  ahli-ahli di bidang kedokteran dan memandang  kedokteran sebagai ilmu  yang sangat mulia. Imam Syafi’i berkata: “Aku  tidak tahu suatu ilmu  setelah masalah halal dan haram (Fiqih) yang  lebih mulia dari ilmu  kedokteran.” (Al-Baghdadi dalam Atthib Minal  Kitab was Sunnah:187).
Pemasangan  gigi pada hakikatnya termasuk bagian dari praktek  transplantasi  (pencangkokan) organ. Tatkala Islam muncul pada abad ke-7  Masehi, ilmu  bedah sudah dikenal di berbagai negara dunia, khususnya  negara-negara  maju saat itu, seperti dua negara adi daya Romawi dan  Persi. Namun  pencangkokan jaringan belum mengalami perkembangan yang  berarti,  meskipun sudah ditempuh berbagai upaya untuk mengembangkannya.  Selama  ribuan tahun setelah melewati berbagai eksperimen barulah  berhasil pada  akhir abad ke-19 M, untuk pencangkokan jaringan, dan pada  pertengahan  abad ke-20 M untuk pencangkokan organ manusia. Di masa  Nabi saw.  peradaban Islam telah menunjukkan perhatian terhadap masalah  kesehatan  sehingga muncul beberapa dokter ahli bedah di masa Nabi yang  cukup  terkenal seperti al Harth bin Kildah dan Abu Ramtah Rafa’ah, juga   Rafidah al Aslamiyah dari kaum wanita.
Pembuatan dan  pemasangan gigi sepanjang untuk alasan syar’i yakni  karena pertimbangan  kebutuhan (haajah) medis untuk menormalkan atau  memperbaiki kelainan  serta penggantian yang lepas untuk dapat mengunyah  dan menggigit kembali  merupakan perbuatan dan profesi yang terpuji  karena membawa kepada  kemaslahatan, bahkan sekalipun menggunakan bahan  logam emas bagi pria  maupun wanita bila hal itu lebih maslahat, kuat,  sehat dan bukan untuk  tujuan pamer kemewahan, sekadar asesoris  perhiasan dan gaya berlebihan.  Hal ini dapat dianalogikan dengan  bolehnya bedah plastik dengan alasan  syar’i tersebut baik dengan organ  asli maupun buatan. Operasi plastik  yang menggunakan organ buatan atau  palsu sudah dikenal di masa Nabi  saw., sebagaimana diriwayatkan Imam  Abu Daud dan Tirmidzi dari  Abdurrahman bin Tharfah yang mengisahkan  bahwa kakeknya ‘Arfajah bin  As’ad pernah terpotong hidungnya pada  perang Kulab, lalu ia memasang  hidung (palsu) dari logam perak, namun  hidung tersebut justru mulai  membusuk, maka Nabi saw. menyuruhnya untuk  memasang hidung palsu dari  bahan logam emas.
Dalam hal pemasangan gigi emas, secara  spesifik Imam Ibnu Sa’ad dalam  Thabaqatnya (III/58) telah meriwayatkan  dari Waqid bin Abi Yaser bahwa  sahabat dan menantu Nabi saw ‘Utsman bin  ‘Affan ra. pernah memasang  mahkota gigi dari emas, supaya giginya lebih  kuat dan tahan lama.  Pemakaian gigi emas tidak dilarang sebagaimana  dilarangnya laki-laki  oleh Nabi saw untuk memakai perhiasan emas atau  pemakaian bejana emas  sebagai asesoris (HR. Muslim dan Abu Dawud), sebab  disini yang harus  menjadi penekanan adalah fungsi kekuatan dan  kesehatan gigi palsu  dengan bahan emas dan bukan untuk fungsi perhiasan  dan pamer kemewahan  sebagaimana alasan yang dipakai oleh ‘Utsman dalam  menggunakan gigi  palsu emas. Di samping itu penggunaan bahan emas pada  gigi palsu adalah  untuk pemakaian yang tergolong dalam bukan pemakaian  luar sebagaimana  lazimnya perhiasan.
Gigi palsu yang  terbuat dari emas tersebut bila pemakainya meninggal  apakah dikubur  bersamanya ataukah dicabut dahulu sebelum dikebumikan  mayatnya, maka  terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Namun pada  dasarnya pendapat  yang lebih kuat adalah yang lebih dekat kepada  prinsip syariah dan  kaidah fiqih. Prinsip syariah menekankan  kemaslahatan secara luas.  Dengan demikian, penguburan gigi emas bersama  mayat merupakan perbuatan  tabzir (menyia-nyiakan nikmat Allah) yang  tidak disukai dalam Islam  padahal barang tersebut dapat berguna bagi  orang yang masih hidup. (QS.  Al-Isra’: 26-27). Di samping itu  membiarkan mayat dengan emas bersamanya  dapat mengundang kriminalitas  dengan pencurian dan pembongkaran mayat  yang justru akan menodai  kesucian dan kehormatan mayat. Dengan demikian  sebaiknya gigi emas  tersebut dicabut oleh dokter gigi yang berpengalaman  dari mayat sebelum  dikebumikan dengan cara yang lembut, hati-hati dan  diupayakan agar  secepat dan semudah mungkin.
Adapun  masalah pemasangan kawat gigi atau behel memang  sebenarnya  diperuntukkan bagi orang-orang yang bermasalah dengan  penampilan  giginya, atau dalam bahasa medis disebut sebagai memiliki  persoalan  ortodontik seperti posisi gigi yang tonggos, tidak rata,  jarang-jarang  dan sebagainya yang diakibatkan oleh berbagai faktor  penyebab. Di  antaranya karena faktor keturunan dari orangtua, seperti  cameh atau  cakil, tonggos gigi berjejal, gigi jarang dan sebagainya. Kelainan   bawaan seperti sumbing juga bisa menyebabkan kelainan ortodontik   apalagi jika pada daerah sumbing itu tak ditumbuhi gigi. Faktor penyebab   lainnya adalah penyakit kronis, misalnya amandel, pilek-pilek  (rhinitis  alergika), bernafas melalui mulut dan sebagainya. Beberapa  kebiasaan  buruk seperti menopang dagu dan menjulurkan, kebiasaan  menghisap jari  terutama dalam jangka waktu lama sampai lebih dari lima  tahun atau  kebiasaan ngempeng anak balita terutama jika dotnya tak  ortodontik (tak  sesuai dengan anatomi rongga mulut dan geligi) bisa  pula menyebabkan  penampilan gigi buruk.
Tujuan pemasangan alat cekat atau  kawat gigi, menurut pakar ortodontik  drg Tri Hardani, SpOrt, Kepala  Departemen Klinik Lembaga Kedokteran  Gigi TNI-AL RE Martadinata Jakarta,  dan sebagaimana dikemukakan para  dokter gigi yang menangani masalah  ortodonsi bahwa perawatan ortodonti  tidak terlepas dari nuansa  keharmonisan wajah yang melibatkan gigi  geligi, tulang muka serta  jaringan lunak wajah. Tapi, Estetika itu  hanya salah satu tujuan  ortodontik ini. Adapun tujuan lainnya adalah  mengembalikan fungsi  pengunyahan menjadi normal kembali. Upaya yang  dilakukan antara lain  dengan merapikan susunan gigi serta mengembalikan  gigi geligi pada  fungsinya secara optimal. Hal ini sebenarnya  merupakan pekerjaan dokter  gigi spesialis yang menggabungkan antara art  dan science, seni dan  pengetahuan medis.
Tujuan kosmetik itu terkait erat dengan oklusi,  yaitu tutup menutupnya  gigi geligi atas dan bawah secara sempurna. Dan  agar terbentuk oklusi  yang normal diperlukan susunan gigi yang baik,  jumlah gigi dan hubungan  antara gigi atas dan bawah serta kanan kiri  yang sempurna. Jadi, yang  utama dari perawatan ortodontik ini adalah  mengembalikan susunan gigi  pada fungsinya sebagai alat pengunyah,  pendukung pengucapan dan  estetika.
Secara umum alat untuk  merapikan gigi ada dua macam, yaitu alat yang  lepasan (removeable  appliances) dan alat cekat (fixed appliances).  Dibanding alat cekat,  alat yang lepasan lebih mudah dibersihkan  sehingga gigi tetap terjaga  kebersihannya. Tapi alat yang terbuat dari  akrilik ringan ini memiliki  keterbatasan kemampuan untuk menangani  kasus-kasus sulit. Alat ini  terbatas untuk menggerakkan gigi dengan  jarak jauh. Akibatnya untuk  pasien dewasa akan kurang efektif jika  menggunakan alat lepasan ini.
Berbeda  dengan alat lepasan, alat cekat memiliki jangkauan perawatan  lebih  tinggi sehingga mampu digunakan untuk kasus-kasus sulit. Alat ini   terdiri dari kawat, baracket (penopang kawat yang ditempelkan pada  gigi  terbuat dari logam, keramik, atau plastik) dan cincin karet yang   berwarna warni. Kawat ini sendiri terbuat dari logam titanium ringan,   tak berkarat dan memiliki kelentingan, ukuran serta bentuk yang   bermacam-macam sesuai kebutuhan. Karena menempel pada gigi maka cara   membersihkan alat cekat ini menjadi tak bebas. Karena itulah biasanya   disediakan sikat gigi khusus bagi para pemakai alat cekat ini. Selain   itu sebelum memakai alat cekat, pasien juga dilatih bagaimana cara   menyikat dan mengontrol gigi agar tetap bersih. Alat ini tak dianjurkan   bagi anak-anak yang belum bisa merawat giginya sendiri, seperti cara   menggosok gigi. Hanya saja pada orang dewasa, pemasangan alat ini sangat   tergantung pada kondisi jaringan pendukung gigi, seperti gusi, tulang   yang mengikat, serta ada tidaknya penyakit yang melemahkan tubuh  seperti  diabetes, TBC, dan lain-lain.
Melihat  berbagai faktor penyebab kelainan dan penanganan  orthodontik karena  alasan medis tersebut di atas "DIPERBOLEHKAN" dalam  Islam baik sebagai  pasien maupun dokter gigi yang menanganinya,  bahkan  dianjurkan dan dapat bernilai ibadah. Sebab Islam menganjurkan  untuk  berobat bila terjadi kelainan dan ketidaknormalan pada fisik dan  psikis.  Bukankah Islam sangat memperhatikan kesehatan sebagaimana pesan   dalil-dalil yang telah di kemukakan di atas.
Ada Tapinya Loh...
Belakangan  ini ada kecenderungan dan fenomena penggunaan kawat gigi  menjadi  semacam tren aksesoris yang merata khususnya yang lebih banyak  kaum  perempuan, mulai dari siswa SD, anak ABG, para remaja, gadis  belia dan  dewasa sampai kalangan ibu-ibu yang suka menggunakan kawat  gigi dengan  hiasan mata cincin berwarna warni dan bahkan tidak jarang  berlian serta  permata yang tidak jarang hanya sekadar ingin  ikut-ikutan, sekadar ingin  bergaya dan tampil trendi atau biar  kelihatan berkelas dan keren  meskipun sebenarnya tidak perlu memakainya  dengan kondisi gigi yang  normal. Pemasangan kawat  pada pasien yang sebenarnya  secara medis dan kesehatan gigi dan gusi  tidak memerlukan perawatan itu  sebenarnya merupakan perbuatan yang  berlebih-lebihan, tidak perlu,  termasuk mubazir dan praktik tolong  menolong dalam kemaksiatan serta  perbuatan dosa. Alias TIDAK  BOLEH. Sebab,  biasanya, rata-rata lama perawatan ortodontik  berkisar dua tahun atau  tergantung tingkat keparahan ketidaknormalan  struktur giginya dengan  biaya yang tak sedikit. Untuk memiliki alat  cekat seseorang membutuhkan  biaya minimal Rp 5 juta hingga Rp 12 juta  di luar tarif kontrol yang  wajib dilakukan setiap tiga minggu sekali  untuk mengecek keadaan alat.  Tentunya biaya tersebut di luar tingkat  kualitas behel dan asesorisnya  seperti berlian dan batu permata (QS.  Al-Maidah:2).
Semua  itu jika di luar kebutuhan mendesak medis dikategorikan sebagai   perbuatan tabzir (kemubaziran) dan isrof (berlebihan) demi gengsi, gaya   hidup (life style) dan sekadar pamer yang tidak terpuji dalam Islam   karena kawat tersebut tidak akan membawa pengaruh apa-apa pada   pertumbuhan gigi selanjutnya tetapi justru membuang-buang uang untuk   sesuatu yang tidak perlu dan cenderung berlebih-lebihan (israf) dan   bermewah-mewahan yang dibenci dan dikutuk Allah Swt (QS.   Al-Mukminun:64-65, QS. Al-Isra’:26-27). Akan lebih baik bila kelebihan   rezki tersebut digunakan untuk beramal shalih berupa sedekah terutama   kepada korban kondisi krisis ekonomi dan bencana yang justru secara   spiritual akan mempercantik kepribadian diri secara hakiki di samping   akan membawa kebahagiaan dan keberkahan dunia dan akhirat. Wallahu  A’lam Wa Billahit taufiq wal Hidayah. []
dakwatuna.com –
Selasa, 05 Juli 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 




 
0 comments:
Posting Komentar