Rabu, 18 Februari 2015

bisik kalbu

Dan pada malam yang dengannya ku pejamkan mata
atau pada kelabu yang menutupi indahnya biru langit
atau pada rintik hujan yang jatuh menyejukkan
atau pada tetesan embun yang tersisa diujung rumput 
ketika mentari malu-malu meninggi

satu tanyaku ...
bilakah masa itu datang menyapaku
membawaku serta mengarungi hingga diujungnya........

ku pinta dia yang selembut Abu Bakar
ku harap dia yang setegas Umar Al Khatab
ku impikan dia yang secerdas Ali bin Abi Thalib
ku pohonkan dia yang sedermawan Utsman bin Affan

kembali ku tatap diri dihadapan cermin
pantaskah aku???
malu teramat ketika melihat kualitas diri
lumpur noda begitu menghiasi
compang-camping begitu menyelimuti iman

namun ku yakin Tuhanku tak pernah dzalim pada semua hambaNYA
kembali ku tatap Mushaf hijau ku, kutenggelamkan diri dalam lautan surat cintaNYA, 
ku pinta apa yang ku inginkan 
 ku yakin Sang Maha Pengabul doa memberikan apa yang kubutuhkan

meski mungkin tak selembut Abu Bakar
tak setegas Umar
tak secerdas Ali
tak sedermawan Utsman

siapapun dia, semoga bisa mengantarkaku pada Ridho Tuhanku dan nikmat abadi



Selasa, 17 Februari 2015

Outing ke sundial Puspa IPTEK Sundial Bandung

Bismillahirrahmanirrahiim....

Febuary is coming, itu artinya SD 2 Ibnu Batutah masuk tema baru: waktu. Ku ambil judul “Click-clock it’s a time” untuk tema ini di mana salah satu pembelajarannya adalah mengenal sejarah jam. Jam matahari salah satunya. Untuk mendukung pembelajaran ku bawa mereka melihat jam matahari asli dengan  outing ke sundial Puspa IPTEK Bandung pada kamis 5 febuari.

Pukul 7 para mujahid SD 2 Ibnu Batutah telah full berkumpul di kelas. Ku minta mereka mempersiapkan sepatu boot dan papan jalan sementara aku brefing di kantor. Setelah berbagai hiruk pikuk di pagi hari, pukul 7.45 kami berangkat menuju Bandung.

Jalan tol tengah padat dengan kendaraan roda 4. “Ups.... macet”, bisik hatiku. Benar saja, kemacetan cukup memperlama waktu perjalanan kami, pukul 12 kami baru sampai lokasi. Segera kami masuk dan mengamati jam matahari. Kuminta anak-anak membaca sejarahnya dan mengamati bayangan dari gnomon –sebuah benda sebagai penunjuk waktu pada jam matahari- ku jelaskan hal-hal terkait jam matahari. Ku tawarkan anak-anak apakah ada yang mau bertanya. Beberapa anak mengajukan pertanyaan secara bergantian. Ku jawab pertanyaan mereka satu per satu.

Setelah selesai mengamati jam matahari, saatnya acara bebas. Ku beri waktu 30 menit pada mereka untuk mencoba alat peraga science di museum Puspa IPTEK. Tanpa berlama-lama mereka berhamburan menuju alat peraga yang menarik bagi mereka. Ku jelaskan beberapa hal mengenai alat peraga yang mereka tanya. Terlihat wajah-wajah takjub dan senang dari para jundi Ibnu Batutah atas pecobaan science yang mereka lakukan. Tanpa terlihat lelah mereka berlari menuju alat peraga satu ke alat peraga lain. Pertanyaanpun silih berganti. Bak seorang ilmuwan mereka mencoba  alat peraga dengan bergantian.


Waktu semakin siang, itu artinya saatnya kami pulang. Setelah makan siang kami segera pulang. Tak terlihat wajah lelah atas perjalanan jauh dan padatnya aktivitas.  Selama perjalanan tak henti-hentinya mereka membahas pengalaman outing hari ini. Ku tanyakan bagaimanakah perasaan mereka. Dengan serentak mereka jawab, “seruuu, senang....”. “alhamdulillah, ucapku. Semoga kalian bisa mengambil banyak pelajaran dari outing kali ini.”
“aku merasa seperti outing bersama ayah dan ibuku” kesan Fawwaz
“minggu besok aku mau ke sana lagi ah sama keluargaku” ucap Ammar
“iya, aku juga ah. Ke Bandungnya naik kereta aja, biar ga macet” sambung Razan
“tadi lonceng listriknya keren ya”  kenang Hakim
“bu Rima, aku berani duduk di bangu penuh paku. Ga sakit ya bu Rima” tambah Gavan
“aku juga coba duduk di bangku paku itu” Lee Fael urun suara
“iya ya, ini outing yang palin seru. Keren banget deh” komentar Calvin penuh semangat.



Jumat, 06 Februari 2015

Aku hanya mau lihat daya pantul jambu ini, bu Rima

Bismillahirrahmanirrahiim...

Awal bulan ini aku mau bercerita tentang Fawwaz, sahabat sekaligus guru kecilku. btw, sebelumnya aku juga sudah pernah nulis tentang Fawwaz, silahkan dibaca di sini ya sob ^_^

Rabu (4 feb) pagi setelah buka kelas KBM diawal dengan Qur’an. Bu Dede sang guru Qur’an tengah asik menyimak bacaan utsmani siswa satu persatu, semantara Hakim diamanhi tugas memuraja'ah hafalan teman-temannya yang sedang menunggu antrian membaca Utsmani. Sedangkan aku tengah asik mempersiapkan materi pelajaran untuk besok. Lantunan surat Al-Fajr begitu indah terdengar. Tak jarang bacaan yang keliru diluruskan oleh sang penanggung jawab muraja’ah, Hakim. Sering dengan itu antrian utsmani pun terus berjalan. Setelah Fawwaz menyelesaikan utsmaninya dengan bu Dede, ia segera menuju pos muraja’ah bertemu Hakim. Antrianpun berjalan, tibalah giliran Fawwaz ‘menyetor’ hafalannya. Surat Al-Fajr begitu lancar ia baca tanpa salah sedikitpun. Dengan aksen Australi-nya yang masih kental muroja’ah Fawwaz begitu enak dan renyah didengar.

Sejenak ku tatap  layar laptopku, ditengah asiknya ku menyiapkan materi untuk besok, tetiba mataku menangkap Hakim yang sedang memukul Fawwaz. “stop.... Abang Stop!! Ada apa ini?” tanyaku terkejut dan hanya dijawab oleh tangisan Hakim yang tetiba mengeras. Ku dekati Fawwaz, kutanya perlahan dengan wajah datar’ “ada apa nak, kok Hakim memukul Fawwaz?” dengan matanya yang berkaca-kaca Fawwaz hanya tersenyum kecut, ku tanya pada bu Dede, apa yang terjadi? Ternyata Hakim ditimpuk jambu biji sebesar telur ayam kampung oleh Fawwaz.

Sementara Hakim tengah menangis memeluk kakinya sembari memendamkan wajah, Ku dekati Fawwaz, ku tatap lembut wajahnya, ku berharap tatapanku tak menghakiminya. Ku tanya perlahan sembari memeluknya, “ada apa Fawwaz, Fawwaz timpuk Hakim dengan jambu biji?” pertanyaanku hanya dijawab anggukan oleh Fawwaz. “Fawwaz sedang membayangkan apa dari jambu biji itu?” tanyaku sembari menahan kestabilan nada bicara. “aku hanya ingin melihat daya pantul dan kecepatan pantulan dari jambu biji ini, bu Rima” jawabnya dengan suara yang ditahan. “lalu?” tanyaku lagi. “aku ga tau kalau jambu ini kena bibir Hakim, aku ga sengaja bu Rima” jawabnya hampir terisak.

Ku peluk bocah 7 tahun itu, berharap pelukanku mampu meredakan ketakutannya. Ku belai punggungnya. Ku coba samakan irama detak jantung kami agar  ia kembali tenang. Setelah ku yakin jantung kami seirama, ku coba katakan padanya  “Fawwaz, besok kalau Fawwaz mau melakukan project science, lihat sekelilingmu ya nak, pastikan itu aman bagimu, aman bagi teman-temanmu. Atau Fawwaz lakukan project science itu jika tidak ada teman di sekeliling Fawwaz agar tidak ada yang terkena efeknya. Fawwaz mengerti maksud aku?” seketika Fawwaz menatapku tajam dan ia menganggukan kepalanya. “Fawwaz boleh bereksperimen, satu pesan aku, tetap jaga keamanan diri Fawwaz dan teman-teman, oke?” tanyaku kembali. “iya bu Rima” jawabnya singkat. “oke sekarang aku mau lihat Hakim dulu ya” ucapku menutup percakapan.

Ku hampiri Hakim yang masih tersedu. Ku belai punggungnya, ku dekap tubuhnya sembari berkata, “abang sudah mau cerita kejadiannya atau masih mau menangis?”. Pertanyaanku hanya dijawab oleh isakan tangisnya yang begitu tersedu. Ku hapus air matanya dengan tisu. Ku belai kembali punggungnya. Ku tunggu beberapa waktu hingga ia tenang dan siap bicara. “boleh aku lihat bibir abang agar aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk menolong abang?” tanyakku menghentikan tangisnya. Hakim mengangkat wajahnya dan tampaklah bibir kiri atasnya yang membengkak. Ngilu tetiba merasuk tubuhku. Sambil berusaha tetap tenang dan tidak panik ku tawarkan mengoleskan minyak butbut padanya. “abang mau aku oles pakai minyak butbut? Akan terasa sedikit nyeri dan bau yang ga enak, tapi insya Allah ini akan membuat bengkaknya cepat hilang dan sakitnya reda.” Ucapku meyakinkan. Hakim menjawab dengan anggukan lemah. Segera ku ambil minyak but-but di kantor dan ku oleskan di bibir nya yang membengkak. “Bismillahirrohmanirrohim, semoga Allah menyembuhkan memar di bibir abang” doaku sebelum mengoleskan. “sabar ya bang, tahan sakit dan baunya yang ga enak” sambungku lagi. “kalau Cuma bau, aku mah tahan bu Rima” ucap Hakim mmbuatku tersenyum.

Setelah Hakim tenang dan aku oleskan minyak di bibirnya kembali ku dekati Fawwaz. “Fawwaz lihat bibir Hakim? Itu sakit nak, ingat pesan aku tadi ya. Kalau mau bereksperimen lihat sekelilingmu, pastikan semua aman” kembali ku ulang pesanku dan hanya dijawab dengan anggukan dan wajah penuh sesal dari Fawwaz. “Fawwaz sudah siap minta maaf ke Hakim?” tanyaku penuh selidik. Fawwaz tersenyum menjawab pertanyaanku dan segera menghampiri Hakim. Namun, Hakim yang masih marah belum mau memaafkan Fawwaz. Ku katakan pada mereka berdua “jika kalian sudah siap untuk saling memaafkan, maka lakukan sekarang. Kalau belum, jangan berlama-lama menyimpan marah. Aku tunggu kalian untuk saling memaafkan ya. Sekarang aku kembali ke pekerjaanku lagi.” Ucapku menutup percakapan.


Ku lanjutkan pekerjaanku yang sempat terhenti, ku tatap layar laptop sembari memperhatikan gerak-gerik para jagoanku di kelas. Tak sampai beberapa lama ku lihat Fawwaz dan Hakim sudah kembali bermain bersama. Huft.... anak-anak, cepat marah dan cepat kembali memaafkan. Alhamdulillah ketidak sengajaan ini berakhir damai. Terimakasih ya nak, kalian kembali ajarkan aku untuk tidak panik dan menghakimi suatu kejadian. Terimakasih nak, kembali kalian ingatkan aku untuk memaafkan kesalahan orang lain.