
Untuk kesekian kalinya miftah harus kecewa dan menerima
segala sesuatu dengan lapang dada.
Mencoba mengingat kejadian beberapa tahun silam, ketika
statusnya menjadi mahasiswa baru. Miftah ditakdirkan ALLOH untuk meneruskan
pendidikannya di sebuah kota kecil nana asri dan nyaman.
Pagi itu ramadhan pertama dilaluinya sebagai mahasiswi,
Ramadhan yang berkesan karena pertama kali dijalaninya tanpa keluarga. Dihari pertama ramadhan,
miftah mengikuti pelatihan dasar untuk masuk dalam suatu organisasi mahasiswa
tingkat nasioanal. Tak banyak pesertanya, hanya 5 orang akhwat dan 5 orang
ikhwan. Kantuk selalu menjalar di setiap sesi materi, tapi takbir yang menggema
selalu mampu untuk menghadirkan ruh dan semangat.
Moment itulah pertama kalinya miftah bertemu dengan ihsan,
seorang mahasiswa seangkatan dan sekampus dengannya. Berbagai diskusi dan
perdebatan sering mereka alami selama masa pelatihan. Miftah benar-benar
penasaran seperti apasih wajah ikhwan yang begitu semangat mendebatnya, namun
keinginannya untuk mencari tahu tidak bisa terwujud, karena hijab yang
terpasang membatasi ruang pertemuan mereka.
Hari pun berlalu, dan mereka semakin sering bertemu untuk
aksi-aksi dan kegiatan kemahasiswaan lainnya. Berbagai tindak tanduk, sikap,
perbuatan, pemikiran, pengetahuan dan pemahaman ihsan membuat miftah simpati.
Perlahan ia pun mulai kagum dengan ihsan. Selera humor dan ketegasan yang
sesuai kondisipun semakin menambah nilai ihsan di mata miftah.
“baru kali ini gw ketemu ikhwan gokil kek dia, tapi di satu
sisi dia begitu berwibawa, bijak dan agamis, tapi kadang dia juga bikin
gregetan” tulis miftah pada sebuah diary kesayangannya.
Semakin lama berinteraksi, semakin besar rasa kagum itu dan
semakin miftah tahu bahwa banyak orang yang tersihir dengan pesona dan
kharismanya. Tak sedikit sahabat miftah yang curhat mengenai isi hatinya
terhadap ihsan, dan semua ini menghadirkan sebuah goresan dalam hati miftah.
Beberapa tahun berlalu, Miftah bertemu dengan Ihsan dalam
suatu periode kepengurusan, dimana Ihsan menjadi “bos” miftah. Semakin
seringlah ia berinteraksi. Ada rasa bahagia dan was-was dihati miftah untuk hal
ini, bahagia karena ia bisa sering bersama dengan ihsan, dan was-was karena ia
takut dengan perasaannya sendiri.
Miftah tahu, adalah sebuah larangan dalam agamanya untuk
mengumbar rasa pada lelaki yang bukan mahromnya. Ia tahu agamanya tegas
melarang setiap hambanya untuk mendekati zinah. Miftah beristigfar berkali-kali
karena ia sadar telah melakukan zinah hati selama ini. Miftah pun
mengkondisikan dirinya untuk lebih menjaga interaksi, dan perasaannya. Ia
bertekat untuk lebih menghijabi diri. Ia pun bingung dengan perasaannya, apakah
cinta, kagum atau hanya nafsu belaka. “astagfirulloh”, berkali-kali Miftah
istigfar merenungi dan menyesali kesalahannya. Dan miftahpun bertekat untuk
terus memendamnya hingga ke halalan itu tiba.
Waktu pun terus berlalu, miftahpun lulus dari kampusnya, dan
ia tidak bisa menyelesaikan tugasnya hingga akhir kepengurusan karena miftah
harus kembali ke daerah asalnya. Setelah surat pengunduran diri dan permohonan
maaf ia sampaikan, tugas-tugas ia selesaikan, miftah pun berpamitan dengan 2
orang pembesar di organisasi itu, termasuk ihsan sedih rasanya miftah harus
meninggalkan kota penuh kenangan ini, meninggalkan saudara-saudara yang selama
ini memberikan pelajaran dan hikmah berharga tentang iman, islam, ukhuwah, ilmu
dan hal-hal lain yang sangat bermanfaat. Dan tentunya miftah juga sedih karena
harus berpisah dengan ihsan.
Sesekali miftah masih menjaga komunikasi dengan teman-teman
kuliahnya, termasuk dengan ihsan. Miftah
kembali menghubungi Ihsan untuk meminta izin menginap sementara di kantor
sekretariatnya untuk Rafah, adik laki-laki miftah yang akan kuliah dikampus
yang sama dengan kampusnya hingga miftah mendapatkan tempat kos yang kondusif
bagi adiknya. Setelah semua urusan kuliah dan kos Raffah selesai dan miftah
kembali kedaerah asalnya, miftah tak pernah berjumpa dan berkomunikasi dengan
Ihsan, hingga beberapa bulan kemudian, disaat Rafah pulang dan dia bercerita
bahwa ia bertemu dengan Ihsan di masjid kampus.
“woi mas, kemana aja, lama ga ketemu, sekalinya ketemu bawa
undangan” Rafah meledek Ihsan
“enak aja, ini bukan undangan ane, ini undangan orang lain,
emang mba ente dah siap?” balas Ihsan
Dengan terkejut dan tergagap Rafah menjawab: “
belum….belum,mba saya belum siap, saya belum lulus dan mba saya masih mau
kuliah lagi”
“ya udah makanya, ane bakal ngundang kalo mba ente dah siap,
bilang ane ya kalo mba ente dah siap” sambung Ihsan
Dialog antara Rafah dan Ihsan yang kembali diceritakan Rafah
pada Miftah membuat ingatan Miftah kembali pada perasaannya, dan ternyata rasa
itu masih ada setelah sekian lama terkubur. Miftah pun senyum-senyum sendiri,
tak ayal secercah harapan Miftah pada Ihsan muncul, lagi-lagi ia beristighfar
untuk mengusir perasaan yang mengganggu hatinya. Miftah meneguhkan pada hatinya
untuk tetap menjaga hati dan hijabnya dalam bergaul hingga saat yang halal itu
tiba.
Miftah lebih giat menyibukkan diri dengan aktivitas kerja,
organisasi dan mencari ilmu, hingga ia tidak kepikiran dengan rasa itu. Hingga
suatu ketika, ada seorang laki-laki yang begitu peduli dan perhatian dengan Miftah,
lelaki yang memberi sebuah harapan, dan ketika Miftah terhanyut dengan perasaan
dan harapanpun mulai tumbuh dihatinya. Miftahpun hampir lupa dengan perasaannya
pada Ihsan. Setelah beberapa lama, Miftah sadar akan kesalahannya, Ia kembali
tak bisa menjaga hati. Miftah tak mau terjerumus dalam dosa karena perasaan
yang belum halal, dan ia sampaikan itu pada lelaki tersebut, tetapi sikap
lelaki tersebut sungguh diluar dugaan miftah, ia mengaku belum siap berkomitmen dan
sikapnya selama ini wajar dia lakukan pada teman-teman perempuannya yang
lain. Astagfirullohal adzim, memberi
harapan untuk menikah, memberi perhatian lebih, hingga hampir setiap saat selalu melaporkan
kegiatannya, merupakan sikap yang wajar pada teman-teman perempuannya, sakit
hati Miftah mendengar pengakuan lelaki itu, ia benar-benar tak habis pikir dan
kecewa, bukan saja kecewa dengan harapan hampa selama ini, tapi kecewa dengan
kebodohan dirinya sendiri. Miftah pun sadar dan bersyukur, hal ini cepat
selesai. lelaki itu meminta maaf atas segala sikap dan perbuatannya yang tidak
berkenan dan berjanji untuk lebih menjaga persahabatan dan pergaulan dengan
lawan jenis serta memastikan bahwa silaturahminya dengan miftah akan berjalan
lancar dan terjaga. Miftah pun mewngamininya.
Yang lebih menyakitkan lagi, ternyata lelaki itu justru
mendekati teman Miftah dan rela mngorbankan dan menjahati Miftah demi menjaga
perasaan wanita itu agar tak cemburu pada Miftah, hal itu miftah ketahui
keteika menanyakan kenapa sikapnya berubah memusuhi miftah, “ q lebih memilih
mengorbankan, ngejutekin dan ngejahatin Miftah daripada buat dia cemburu, dan aku tau dia
juga dah ngejutekin miftah karena dia cemburu. Aku sadar miftah dah dijahatin
dia, sekarang dijahatin aku, kalau kata pribahasa sudah jatuh tertimpa tangga
pula, dan aku minta maaf atas semua kesalahan yang telah dan belum aku perbuat”
dengan entengnya lelaki itu menjawab pertanyaan miftah
walau kesal, Miftahpun memaafkannya dan meyerahkan segalanya pada
Rabbnya, ia yakin segala perbuatan akan berpulang pada sipembuatnya, dan ia
hanya mengharapkan ampunan ALLOH atas dosanya selama ini. “semoga kejadian ini
dapat menghapus dosa-dosa ku, agar ku ringan melangkah menemuimu duhai Rabbi,
berikan aku keikhlasan dan ketabahan dalam menerima ini semua, lapangkanlah
hatiku untuk memaafkan mereka” doa lirih Miftah. Perlahan ingatan Miftah
kembali pada Ihsan, nilai Ihsan dimata Miftah semakin baik, belum pernah ia
temukan lelaki seperti Ihsan, soleh, cerdas, bijak, punya selera humor, tegas
dan seorang pemimpin yang baik. Miftahpun menjadikan Ihsan sebagai criteria
ideal seorang ikhwan.
Sang waktupun kembali berjalan tanpa peduli kesiapan setiap
mahluk dalam menjalaninya. Tak terasa umur Miftah kini sudah 24 tahun, keluarga
besarnya meminta Miftah untuk menikah, meski Miftah belum berfikir kearah sana.
Ternyata beberapa waktu berselang,
murabbiyah Miftah memberikan sebuah biodata ikhwan pada miftah, setelah
mengalami proses, akhirnya Miftahpun di khitbah dan sebuah tanggal telah
ditetapkan menjadi hari pernikahannya.
ALLOH lah pembuat scenario dan sutradara terbaik. Rencana
yang telah disusunpun tidak terjadi. Miftah dan calon suaminya beserta keluarga
besar mereka sepakat tidak meneruskan rencana pernikahan itu karena sesuatu
hal. Miftah sangat lega dengan keputusan yang diambilnya. Berkali-kali syukur
terlantun dari bibirnya. Tak ada yang dia sesali, setiap kejadian ini adalah
bentuk lain dari kasih sayang Rabb-nya pada Miftah. Ia semakin yakin bahwa
ALLOH hanya memberikan segala yang terbaik bagi dirinya, termasuk lelaki langit
yang telah ALLOH tetapkan menjadi jodohnya. Mahasuci ALLOH sang maha pelindung
dimana tidak ada perlindungan selain perlindungan ALLOH.
Hari-haripun dijalani Miftah seperti biasa, seakan tak
terjadi sesuatu. Sejumput kisah yang terjadi pada Miftah menjadikannya lebih
berhati-hati dalam memutuskan, lebih berhati-hati dalam menjaga hati. Ia
memutuskan untuk tidak pernah memberikan hati dan perasaannya pada laki-laki
yang belum halal untuknya. Ada segores luka dan perih dalam lubuknya. Ketika ia
pertama kali mempunyai rasa terhadap lawan jenis, Miftah tak berani
mendeskripsikan dan mengartikan perasaan itu. Ketika Miftah tidak peduli dengan
segala permasalahan hati, hadir seorang lelaki yang seakan begitu peduli dan
perhatian serta memberi harapan pada Miftah, begitu, kepedulian perhatian dan harapan
itu dipertagas dan diminta komitmennya, lelaki pengecut itu tak berani dan
malah menghadirkan luka pada Miftah. Ketika benar-benar ada lelaki yang
berkomitmen dan melamarnya secara baik-baik, justru berakhir dengan pembatalan
rencana pernikahan karena suatu fitnah dan kesalah pahaman. Semua itu membuat
Miftah lelah. Beberapa kali teman-teman Miftah menawarkan seorang ikhwan pada
Miftah, tapi ia selalu menolak. Bukannya menutup hati, tapi Miftah ingin
memberikan istirahat pada hatinya. Sekedar rehat sejenak dari setiap kejadian
bukti lain kasih sayang ALLOH. Miftah hanya ingin menerima siapapun itu bila
hatinya telah siap. Dan kini ia memilih untuk lebih menata hati dan menata
diri.
Beberapalama tak tau kabarnya, tiba-tiba Ihsan kembali hadir
membawa undangan pernikahan dirinya dengan seorang akhwat yang juga teman
kampus Miftah. Kejutan yang tak diduga dipagi hari. Miftah tak tahu apa yang ia
rasakan. Ada kelegaan dan kepastian mengenai perasaannya pada Ihsan, dan tentunya
ada kekecewaan, ternyata Ihsan bukan untuknya. Sesak begitu terasa di dada,
sebutir air matapun terjatuh perlahan. Miftah tak tahu, bagaimana kedepannya
yang jelas Miftah semakin meneguhkan hati dan dirinya untuk Tidak pernah
berharap dan memberikan hatinya pada orang yang belum halal baginya. Mungkin ia
akan menutup hatinya untuk sementara hingga saat yang tepat dan pada orang yang
tepat kelak hati itu akan terbuka dengan sendirinya.
0 comments:
Posting Komentar