skip to main | skip to sidebar

About me

Foto Saya
Rima Aulia
Lihat profil lengkapku

Archivo del blog

  • ▼ 2017 (24)
    • ▼ November (1)
      • Sesulit taat
    • ► September (1)
    • ► Juli (1)
    • ► Juni (2)
    • ► Mei (1)
    • ► April (4)
    • ► Maret (5)
    • ► Februari (6)
    • ► Januari (3)
  • ► 2016 (46)
    • ► Desember (6)
    • ► November (5)
    • ► Oktober (9)
    • ► September (5)
    • ► Agustus (5)
    • ► Juli (3)
    • ► Juni (3)
    • ► Mei (5)
    • ► April (1)
    • ► Februari (1)
    • ► Januari (3)
  • ► 2015 (12)
    • ► Oktober (2)
    • ► Agustus (1)
    • ► Mei (1)
    • ► April (1)
    • ► Februari (3)
    • ► Januari (4)
  • ► 2014 (33)
    • ► Desember (1)
    • ► Oktober (3)
    • ► September (2)
    • ► Juli (4)
    • ► Juni (3)
    • ► Mei (4)
    • ► April (7)
    • ► Maret (3)
    • ► Februari (1)
    • ► Januari (5)
  • ► 2013 (26)
    • ► November (2)
    • ► September (5)
    • ► Agustus (2)
    • ► Juli (4)
    • ► Mei (4)
    • ► Maret (6)
    • ► Februari (2)
    • ► Januari (1)
  • ► 2012 (39)
    • ► Desember (1)
    • ► November (4)
    • ► Oktober (2)
    • ► September (5)
    • ► Agustus (3)
    • ► Juli (1)
    • ► Juni (2)
    • ► Mei (4)
    • ► April (2)
    • ► Maret (5)
    • ► Februari (3)
    • ► Januari (7)
  • ► 2011 (121)
    • ► Desember (9)
    • ► November (13)
    • ► Oktober (3)
    • ► September (5)
    • ► Agustus (1)
    • ► Juli (7)
    • ► Juni (19)
    • ► Mei (23)
    • ► April (7)
    • ► Maret (34)

Bloofers

Photobucket

Blogger's Shout Out

Diberdayakan oleh Blogger.

boycott israel

Followers

Recent Post

Popular Post

Recent Comment

belajar, berproses, berubah

Hanya sedikit ini yang ku tahu kutulis ia untukmu, maka berbagilah denganku apa yang kau tahu agar ku dapat belajar, berproses dan berubah

Sesulit taat

Selasa, 14 November 2017

Merenungi makna taat. Teringat kisah Abu Anbiya; Ibrahim as, terkenang kembali perjuangan Sang Nabi bersama para sahabatnya.

Terbayang seorang laki-laki yang menua dalam darmanya sebagai Rasul. Sepanjang ruhan bakti pada Ilahi, terselip satu penantian. Tak jua hadir sosok simungil yang memanggilnya "ayah". Harapannya untuk memiliki palanjut agama Allah yang lurus dari sulbinya telah lama digayutkan di langit dengan temali doa. Harapan itu tak pernah hilang. Memang tak makin tinggi. Hanya makin dalam, makin syahdu. Ketika rambutnya memutih, Ibrahim as menuai buah kesabaran. Lahirlah Ismail, putra yang santun, amat sabar, dan bijaksana.

Hari berganti. Ujian kembali hadir. Lelaki taat nan baru memiliki sibiran tulang diusia senja mendapat perintah NYA untuk meninggalkan bayi merah nan mungil itu di padang gersang tak bertuan. Amboi... kesabaran dan ketaatannya kembali teruji. Allah yang beberapa cecah menganugrahkan buah hati, kini memerintahkan mereka berpisah. Berpisah tanpa janji untuk jumpa lagi. Ringankah itu bagi Ibrahim?

Masa bergulir. Kekasih Allah itu kembali dikumpulkan dengan istri dan buah hati tercinta. Hari-hari mereka isi dengan ketaatan hanya padaNYA. Hingga disuatu waktu, ujian ketaatan kembali terulang. mimpi 3 kali berturut-turut menyapa tidurnya. Perintah menyembelih sibiran tulang menghampiri. Si soleh nan beranjak besar dan sudah mampu membantu kerja-kerjanya, harus ia sembelih. "Lakukanlah,  wahai ayah; jika memang itu perintah Allah" jawaban penuh keyakinan Ismail menguatkan hati sang ayah untuk kembali taat menjalani perintahNYA. Mudahkah itu bagi Ibrahim?

Atas nama taat, semua terlewati. Andaikan Ibrahim menentang perintahNYA meninggalkan simungil kesayangan di padang tandus lagi gersang atau perintah menyembelih sang buah hati kesayang tidak ia indahkan; boleh jadi kita tak pernah mengenalnya sebagai Abu Anbiya dan namanya tak abadi dalam shalat-shalat kita.

Terkenang kisah Hudzaifah sang diplomat Rasulullah. Malam begitu pekat, dingin serasa membekukan sumsum. Badai pasir sehari sebekumnya masih menyisakan deru dan debu,  gerisiknya menghantui hati,  mencengkamnya dalam bayang-bayang kehancuran dan kebinasaan

Rasulullah memanggil dan menyeru tugas. "siapa yang akan pergi ke perkemahan Abu Sufyan dan teman-temannya? dan kembali untuk mengabarkan keadaan mereka kepadaku?" begitu sabda Sang Nabi.
Hening sekali,  tak ada suara selain desis angin. Dingin memang menusuk,  lapar begitu melilit. Dalam gelap,  setiap orang mencoba menatap lutut merekam menyembunyikan wajah yang sedari awalpun memang sudah tak terlihat.

"Siapa yang bersedia,  aku akan meminta pada Allah agar menjadikannya karibku di syurga" Ucapan Rasul menguatkan kembali permintaan beliau.

Duhai,  alangkah indah balasannya. Hal yang menjadi impian setiap orang. Namun amanah untuk kembali hidup-hidup? ah... sepertinya lebih ringan jika saja tugas itu berisi "mati di sana"

"Dimana Hudzaifah?" akhirnya beliau saw menyebut nama. kelegaan merasuki tiap-tiap muslim. Sementara,  ada sebuah hati yang penuh debat; pencampuran antara terkejut,  takut,  bangga; berdegub di salah sutu sudut kalbu.

"Saya di sini ya Rasulullah" sambut Hudzaifah. 
"Hai Hudzaifah, pergi dan masuklah ke tempat mereka. Lihatlah apa yang mereka kerjakan dan jangan melakukan apapun hingga kau kembali tiba di tempat ini" sabda Sang Nabi tegas.

"sami'na, wa ato'na ya Rasul" jawab Hudzaifah yakin.

Berangkatlah Hudzaifah menuju markas musuh. Dijalankannya amanah Sang Nabi dengan penuh taat. Hingga suatu ketika, Ia melihat Abu Sufyan melangkah gontai ke arah untanya terikat. Dari tempat duduk, berdebar Hudzaifah meraba busurnya. Abu Sofyan begitu dekat tak terhalang, mudah dibidik. Kesemoatan begitu terbuka lebar. Adrenalin Hudzaifah menderaa. Inilah pemimpin Quraisy, penentang Sang Utusan Allah, orang yang menyengsarakan kaum muslim. Inilah kesemoatan untuk menghabisinya. Jika berhasil, matipun Hudzaifah tak akan menyesal.

Tapi tiba-tiba Hudzaifah teringat sabda sang Nabi yang mengharuskannya kembali untuk melapor. Tugasnya hanya mengamati, tak lebih. "jangan lakukan apapun hingga kau tiba kembali di tempat ini" sabda Sang Nabi begitu terngiang.

perlahan ia lepaskan busur dari genggaman tangannya yang berkeringat dingin. Ia memilih untuk taat pada perintah Nabinya.


Andaikan Hudzaifah tetap mengarahkan busur dan melepaskan anak panahnya ke arah Abu Sufyan, mungkin sejarah tak pernah mencatat ikrar tauhid dan keimanan Abu Sufyan dikemudian hari. Bisa jadi Hudzaifah tak harum namanya sepanjang zaman sebagai diplomat Rasululloh yang cerdas,  berani,  lagi amanah.


Taat,  sebuah kata yang butuh pembuktian,  kerja keras, dan kerja cerdas. Bukan hal yang mudah memang, karena ianya menuntut perjuangan,  pengorbanan, bahkan hingga terkorban; namun tengoklah balasannya. Amboi.... tak ada kata yang bisa mewakilinya.

Tak ada kenikmatan yang hadir tiba-tiba. Perjuangan, pengorbanan, peluh yang menganak sungai, air mata nan meleleh, mungkinpun darah mengalir menjadi latar belakangnya. Begitupun dengan taat. Jalannya penuh onak dan duri. hingga ku tak tau, mana pangkal mana ujung.

Duhai Tuhan pemilik seruan alam,  tetapkan hayi kami dalam ketakwaan padamu dalam segala kondisi hingga gemilangnya mengantarkan kami meraih RidhomMU. Aamiin...

Diposting oleh Rima Aulia di 00.20 0 komentar Link ke posting ini  

September bagi Pelangi

Minggu, 17 September 2017

Pelangi di Bandara Soe-Ta

September selalu membawa cerita bagi Pelangi. 6 musim yang lalu,  Pelangi mengikhlaskan Langit bersama Angin. Meski perih, ia tetap membantu prosesnya hingga Langit dan Angin menjadi raja dan ratu sehari. 

Musim terus berganti,  Pelangi kembali bertemu dengan September. Pada musim lalu, Pelangi menemukan nuansa baru di bulan september. Manis seperti cotton candy yang disukai anak-anak. Awan hadir menorehkan cerita baru dalam lembaran hidup Pelangi. Menyapanya dengan lembut, menyelimuti hatinya dengan kehangatan, melukiskan senyum dan keriangan. Bagai musim semi,  bunga-bunga subur tumbuh dan berkembang di hati pelangi. 

Adalah sebuah keniscayaan, musim semi pasti berlalu. Lumat pada roda waktu. Masapun terus bergulir. September kembali menyapa pelangi. Kali ini dengan kisah yang berbeda dengan September musim lalu. Cerita 6 musim yang lampau kembali terulang di September kali ini. Pelangi kembali harus melepaskan. Merelakan Awan merangkai hidup dengan yang lain. Namun ada rasa yang berbeda dengan 6 musim lampau. Musim kali ini dilalui Pelangi dengan datar. Ia menelisik ke relung terdalam, adakah sedih ia temukan. Ternyata tidak. kembali ia menelusuri sudut kalbu,  adakah kecewa menyapa. Oh... tak ditemukannya. Perjalanan ia lanjutkan. Adakah kehilangan bertandan di sisi hati Pelangi.  Dengan mantap pelangi menjawab,  "aku tidak merasa kehilangan karena sejatinya aku tak pernah memiliki."


***
Terima kasih kisahnya, Pelangi. Kali ini kau menyuguhi ku pelajaran tentang cinta. Kepada cinta,  terima kasih telah memperlihatkanku berbagai wajah. Tentang sakitnya jatuh cinta diam-diam; jatuh cinta sendiri. Tentang pengecut nan munafik yang hanya berani di belakang dan mengkambinghitamkan cinta. Tentang makna kepemilikan dan cinta itu sendiri. Semoga kisah kalian bisa menambah bekalku ketika suatu saat cinta menyapaku.


Diposting oleh Rima Aulia di 20.40 0 komentar Link ke posting ini  

Dido dan wudlunya Yoda

Minggu, 30 Juli 2017

Siang itu seperti biasa si anak ganteng dengan semangat menghabiskan bekal makan siangnya. Dalam sekejap, tanpa menunggu lama, kotak nasi berwarna hijau itu kembali kosong muatan. Ia segera memunguti beberapa butir nasi yang berjatuhan, membersihkan meja dan meletakkan kembali pada tempatnya. Sudah hafal dengan urutan aktivitas, setelah makan siang adalah waktunya menyikat gigi, berwudlu,  dan ganti pakaian. Dengan segera ia turun ke bawah sembari membawa sikat gigi yang telah diolesi pasta gigi. Tap...tap..tap suara langkah kakinya bersentuhan dengan lantai kayu saung kelas kami.

Alhamdulillah, tahun ini si anak ganteng memiliki teman baru lebih banyak. Itu artinya, antrian wudlu akan lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Dengan sabar ia menanti. Waktu berjalan. Satu per satu teman sudah selesai, barisan semakin maju, antrian semakin memendek. Tibalah giliran Yoda, sang adik kelas 1 berwudlu.

Si ganteng yang biasa disapa abang Dido oleh adik-adiknya mengamati Yoda berwudlu. Penglihatannya tak beralih, pengamatan dilakukan dengan seksama. Hingga tiba pada suatu moment si abang menangkap wudlu adiknya belum sempurna. Dengan sabar dan lembut ia mengajari sang adik berwudlu hingga tuntas. 

Dido (berbaju hitam) mengajari Yoda wudlu
Masha Allah, inilah pembentukan generasi. Naik kelas artinya penambahan barisan batu bata hingga bangunan kokoh terbentuk. Guru di kelas selanjutnya bertugas menggiring dan melestarikan kebaikan yang sudah tertanam pada anak. Meninggikan susunan batu bata dari guru-guru sebelumnya, hingga karakter postif terbentuk dan semakin melekat pada setiap anak.

Saling mengingatkan dan berbagi kebaikan adalah salah satu iklim yang dibangun guna membentuk karakter positif. Ketika semua orang di sekolah melakukan hal yang sama, maka tanpa sadar hal tersebut akan melekat. Pun pada anak-anak. Kali ini Dido membuktikannya. Semoga karena bimbingan bang Dido, Yoda jadi bisa berwudlu dengan benar dan tertib. Semoga jariah kebaikan terus mengalir padamu bang Dido! Barakalloh bang Dido. Dan semoga kita diistiqomahkan untuk terus saling mengingatkan dan berbagi kebaikan, aamiin.

Diposting oleh Rima Aulia di 21.04 0 komentar Link ke posting ini  

Postingan Lama
Langganan: Postingan (Atom)

Blog Design by Gisele Jaquenod