Selasa, 14 November 2017

Sesulit taat

Merenungi makna taat. Teringat kisah Abu Anbiya; Ibrahim as, terkenang kembali perjuangan Sang Nabi bersama para sahabatnya.

Terbayang seorang laki-laki yang menua dalam darmanya sebagai Rasul. Sepanjang ruhan bakti pada Ilahi, terselip satu penantian. Tak jua hadir sosok simungil yang memanggilnya "ayah". Harapannya untuk memiliki palanjut agama Allah yang lurus dari sulbinya telah lama digayutkan di langit dengan temali doa. Harapan itu tak pernah hilang. Memang tak makin tinggi. Hanya makin dalam, makin syahdu. Ketika rambutnya memutih, Ibrahim as menuai buah kesabaran. Lahirlah Ismail, putra yang santun, amat sabar, dan bijaksana.

Hari berganti. Ujian kembali hadir. Lelaki taat nan baru memiliki sibiran tulang diusia senja mendapat perintah NYA untuk meninggalkan bayi merah nan mungil itu di padang gersang tak bertuan. Amboi... kesabaran dan ketaatannya kembali teruji. Allah yang beberapa cecah menganugrahkan buah hati, kini memerintahkan mereka berpisah. Berpisah tanpa janji untuk jumpa lagi. Ringankah itu bagi Ibrahim?

Masa bergulir. Kekasih Allah itu kembali dikumpulkan dengan istri dan buah hati tercinta. Hari-hari mereka isi dengan ketaatan hanya padaNYA. Hingga disuatu waktu, ujian ketaatan kembali terulang. mimpi 3 kali berturut-turut menyapa tidurnya. Perintah menyembelih sibiran tulang menghampiri. Si soleh nan beranjak besar dan sudah mampu membantu kerja-kerjanya, harus ia sembelih. "Lakukanlah,  wahai ayah; jika memang itu perintah Allah" jawaban penuh keyakinan Ismail menguatkan hati sang ayah untuk kembali taat menjalani perintahNYA. Mudahkah itu bagi Ibrahim?

Atas nama taat, semua terlewati. Andaikan Ibrahim menentang perintahNYA meninggalkan simungil kesayangan di padang tandus lagi gersang atau perintah menyembelih sang buah hati kesayang tidak ia indahkan; boleh jadi kita tak pernah mengenalnya sebagai Abu Anbiya dan namanya tak abadi dalam shalat-shalat kita.

Terkenang kisah Hudzaifah sang diplomat Rasulullah. Malam begitu pekat, dingin serasa membekukan sumsum. Badai pasir sehari sebekumnya masih menyisakan deru dan debu,  gerisiknya menghantui hati,  mencengkamnya dalam bayang-bayang kehancuran dan kebinasaan

Rasulullah memanggil dan menyeru tugas. "siapa yang akan pergi ke perkemahan Abu Sufyan dan teman-temannya? dan kembali untuk mengabarkan keadaan mereka kepadaku?" begitu sabda Sang Nabi.
Hening sekali,  tak ada suara selain desis angin. Dingin memang menusuk,  lapar begitu melilit. Dalam gelap,  setiap orang mencoba menatap lutut merekam menyembunyikan wajah yang sedari awalpun memang sudah tak terlihat.

"Siapa yang bersedia,  aku akan meminta pada Allah agar menjadikannya karibku di syurga" Ucapan Rasul menguatkan kembali permintaan beliau.

Duhai,  alangkah indah balasannya. Hal yang menjadi impian setiap orang. Namun amanah untuk kembali hidup-hidup? ah... sepertinya lebih ringan jika saja tugas itu berisi "mati di sana"

"Dimana Hudzaifah?" akhirnya beliau saw menyebut nama. kelegaan merasuki tiap-tiap muslim. Sementara,  ada sebuah hati yang penuh debat; pencampuran antara terkejut,  takut,  bangga; berdegub di salah sutu sudut kalbu.

"Saya di sini ya Rasulullah" sambut Hudzaifah. 
"Hai Hudzaifah, pergi dan masuklah ke tempat mereka. Lihatlah apa yang mereka kerjakan dan jangan melakukan apapun hingga kau kembali tiba di tempat ini" sabda Sang Nabi tegas.

"sami'na, wa ato'na ya Rasul" jawab Hudzaifah yakin.

Berangkatlah Hudzaifah menuju markas musuh. Dijalankannya amanah Sang Nabi dengan penuh taat. Hingga suatu ketika, Ia melihat Abu Sufyan melangkah gontai ke arah untanya terikat. Dari tempat duduk, berdebar Hudzaifah meraba busurnya. Abu Sofyan begitu dekat tak terhalang, mudah dibidik. Kesemoatan begitu terbuka lebar. Adrenalin Hudzaifah menderaa. Inilah pemimpin Quraisy, penentang Sang Utusan Allah, orang yang menyengsarakan kaum muslim. Inilah kesemoatan untuk menghabisinya. Jika berhasil, matipun Hudzaifah tak akan menyesal.

Tapi tiba-tiba Hudzaifah teringat sabda sang Nabi yang mengharuskannya kembali untuk melapor. Tugasnya hanya mengamati, tak lebih. "jangan lakukan apapun hingga kau tiba kembali di tempat ini" sabda Sang Nabi begitu terngiang.

perlahan ia lepaskan busur dari genggaman tangannya yang berkeringat dingin. Ia memilih untuk taat pada perintah Nabinya.


Andaikan Hudzaifah tetap mengarahkan busur dan melepaskan anak panahnya ke arah Abu Sufyan, mungkin sejarah tak pernah mencatat ikrar tauhid dan keimanan Abu Sufyan dikemudian hari. Bisa jadi Hudzaifah tak harum namanya sepanjang zaman sebagai diplomat Rasululloh yang cerdas,  berani,  lagi amanah.


Taat,  sebuah kata yang butuh pembuktian,  kerja keras, dan kerja cerdas. Bukan hal yang mudah memang, karena ianya menuntut perjuangan,  pengorbanan, bahkan hingga terkorban; namun tengoklah balasannya. Amboi.... tak ada kata yang bisa mewakilinya.

Tak ada kenikmatan yang hadir tiba-tiba. Perjuangan, pengorbanan, peluh yang menganak sungai, air mata nan meleleh, mungkinpun darah mengalir menjadi latar belakangnya. Begitupun dengan taat. Jalannya penuh onak dan duri. hingga ku tak tau, mana pangkal mana ujung.

Duhai Tuhan pemilik seruan alam,  tetapkan hayi kami dalam ketakwaan padamu dalam segala kondisi hingga gemilangnya mengantarkan kami meraih RidhomMU. Aamiin...