Senin, 06 Februari 2017

Ku nantikan aksaramu


Aku terus bertahan, walau kondisi menjadikan kita seperti tetangga yang dipisahkan oleh sebuah dinding. Padahal sejatinya kita berada dalam satu ruang yang sama.

Aku merasakan keberadaanmu, tanpa pernah tahu apa yang sedang ada di pikiranmu. Sering kali pandangmu kosong, atau justru kau sibuk dengan duniamu sendiri. Bahkan terkadang kalimatmu mengalir lancar,  namun bukan tentang apa yang sedang kita hadapi saat ini.

Jarak antar raga kita dapat kuukur, tapi tidak dengan hati. Sedalam apa pun aku coba menggali. Sebab ia bekerja dan memilih dengan caranya sendiri—formula yang tak ‘kan pernah aku pahami. Maka memang hanya itu modalku untuk terus bertahan: satu keyakinan bahwa suatu saat hal itu akan terbayar setuntas-tuntasnya. Bahwa dinding itu akan roboh, menyatukanmu kembali dengan dunia kita. Mengembalikanmu seperti dua tahun lalu yang ku kenal.

Disela rutinitas kita, sering kali ku coba cari tahu apa yang sebenernya terjadi padamu. Dan kau hanya membalas dengan senyummu yang terkembang manis memperlihatkan gigi geligimu yang tersusun rapi. Atau kau menceritakan kehidupan kita dua tahun lalu sedetail-detailnya. Bahkan memoriku hampir saja melupakannya.

Bukan itu sayang cerita yang ingin ku dengar. Ku menunggu aksara mengalir lancar dari mulutmu yang membuatku mengerti mengapa kau berubah. Adakah dari kami yang menyakitimu di masa lalu? Adakah dari kami yang mengabaikanmu kala itu hingga kini kau seolah tak peduli?
Ataukah materi-materi ini telah membuatmu susah hingga kau memilih untuk mengabaikannya? 

Aku tak yakin dengan pertanyaan terakhirku, karena yang ku tahu kau cerdas; yang ku tahu kau mampu menyelesaikan permasalahanmu seorang diri.

Harapku tetap tak berubah padamu. Semoga dinding itu segera roboh,  agar kau kembali seperti dulu saat 2 tahun pertama kebersamaan kita. Inginku semangat itu kembali berkobar hingga menghidupkan kembali binar di matamu. Ku tunggu saat itu datang ya bang ....



0 comments: