Selasa, 14 November 2017

Sesulit taat

Merenungi makna taat. Teringat kisah Abu Anbiya; Ibrahim as, terkenang kembali perjuangan Sang Nabi bersama para sahabatnya.

Terbayang seorang laki-laki yang menua dalam darmanya sebagai Rasul. Sepanjang ruhan bakti pada Ilahi, terselip satu penantian. Tak jua hadir sosok simungil yang memanggilnya "ayah". Harapannya untuk memiliki palanjut agama Allah yang lurus dari sulbinya telah lama digayutkan di langit dengan temali doa. Harapan itu tak pernah hilang. Memang tak makin tinggi. Hanya makin dalam, makin syahdu. Ketika rambutnya memutih, Ibrahim as menuai buah kesabaran. Lahirlah Ismail, putra yang santun, amat sabar, dan bijaksana.

Hari berganti. Ujian kembali hadir. Lelaki taat nan baru memiliki sibiran tulang diusia senja mendapat perintah NYA untuk meninggalkan bayi merah nan mungil itu di padang gersang tak bertuan. Amboi... kesabaran dan ketaatannya kembali teruji. Allah yang beberapa cecah menganugrahkan buah hati, kini memerintahkan mereka berpisah. Berpisah tanpa janji untuk jumpa lagi. Ringankah itu bagi Ibrahim?

Masa bergulir. Kekasih Allah itu kembali dikumpulkan dengan istri dan buah hati tercinta. Hari-hari mereka isi dengan ketaatan hanya padaNYA. Hingga disuatu waktu, ujian ketaatan kembali terulang. mimpi 3 kali berturut-turut menyapa tidurnya. Perintah menyembelih sibiran tulang menghampiri. Si soleh nan beranjak besar dan sudah mampu membantu kerja-kerjanya, harus ia sembelih. "Lakukanlah,  wahai ayah; jika memang itu perintah Allah" jawaban penuh keyakinan Ismail menguatkan hati sang ayah untuk kembali taat menjalani perintahNYA. Mudahkah itu bagi Ibrahim?

Atas nama taat, semua terlewati. Andaikan Ibrahim menentang perintahNYA meninggalkan simungil kesayangan di padang tandus lagi gersang atau perintah menyembelih sang buah hati kesayang tidak ia indahkan; boleh jadi kita tak pernah mengenalnya sebagai Abu Anbiya dan namanya tak abadi dalam shalat-shalat kita.

Terkenang kisah Hudzaifah sang diplomat Rasulullah. Malam begitu pekat, dingin serasa membekukan sumsum. Badai pasir sehari sebekumnya masih menyisakan deru dan debu,  gerisiknya menghantui hati,  mencengkamnya dalam bayang-bayang kehancuran dan kebinasaan

Rasulullah memanggil dan menyeru tugas. "siapa yang akan pergi ke perkemahan Abu Sufyan dan teman-temannya? dan kembali untuk mengabarkan keadaan mereka kepadaku?" begitu sabda Sang Nabi.
Hening sekali,  tak ada suara selain desis angin. Dingin memang menusuk,  lapar begitu melilit. Dalam gelap,  setiap orang mencoba menatap lutut merekam menyembunyikan wajah yang sedari awalpun memang sudah tak terlihat.

"Siapa yang bersedia,  aku akan meminta pada Allah agar menjadikannya karibku di syurga" Ucapan Rasul menguatkan kembali permintaan beliau.

Duhai,  alangkah indah balasannya. Hal yang menjadi impian setiap orang. Namun amanah untuk kembali hidup-hidup? ah... sepertinya lebih ringan jika saja tugas itu berisi "mati di sana"

"Dimana Hudzaifah?" akhirnya beliau saw menyebut nama. kelegaan merasuki tiap-tiap muslim. Sementara,  ada sebuah hati yang penuh debat; pencampuran antara terkejut,  takut,  bangga; berdegub di salah sutu sudut kalbu.

"Saya di sini ya Rasulullah" sambut Hudzaifah. 
"Hai Hudzaifah, pergi dan masuklah ke tempat mereka. Lihatlah apa yang mereka kerjakan dan jangan melakukan apapun hingga kau kembali tiba di tempat ini" sabda Sang Nabi tegas.

"sami'na, wa ato'na ya Rasul" jawab Hudzaifah yakin.

Berangkatlah Hudzaifah menuju markas musuh. Dijalankannya amanah Sang Nabi dengan penuh taat. Hingga suatu ketika, Ia melihat Abu Sufyan melangkah gontai ke arah untanya terikat. Dari tempat duduk, berdebar Hudzaifah meraba busurnya. Abu Sofyan begitu dekat tak terhalang, mudah dibidik. Kesemoatan begitu terbuka lebar. Adrenalin Hudzaifah menderaa. Inilah pemimpin Quraisy, penentang Sang Utusan Allah, orang yang menyengsarakan kaum muslim. Inilah kesemoatan untuk menghabisinya. Jika berhasil, matipun Hudzaifah tak akan menyesal.

Tapi tiba-tiba Hudzaifah teringat sabda sang Nabi yang mengharuskannya kembali untuk melapor. Tugasnya hanya mengamati, tak lebih. "jangan lakukan apapun hingga kau tiba kembali di tempat ini" sabda Sang Nabi begitu terngiang.

perlahan ia lepaskan busur dari genggaman tangannya yang berkeringat dingin. Ia memilih untuk taat pada perintah Nabinya.


Andaikan Hudzaifah tetap mengarahkan busur dan melepaskan anak panahnya ke arah Abu Sufyan, mungkin sejarah tak pernah mencatat ikrar tauhid dan keimanan Abu Sufyan dikemudian hari. Bisa jadi Hudzaifah tak harum namanya sepanjang zaman sebagai diplomat Rasululloh yang cerdas,  berani,  lagi amanah.


Taat,  sebuah kata yang butuh pembuktian,  kerja keras, dan kerja cerdas. Bukan hal yang mudah memang, karena ianya menuntut perjuangan,  pengorbanan, bahkan hingga terkorban; namun tengoklah balasannya. Amboi.... tak ada kata yang bisa mewakilinya.

Tak ada kenikmatan yang hadir tiba-tiba. Perjuangan, pengorbanan, peluh yang menganak sungai, air mata nan meleleh, mungkinpun darah mengalir menjadi latar belakangnya. Begitupun dengan taat. Jalannya penuh onak dan duri. hingga ku tak tau, mana pangkal mana ujung.

Duhai Tuhan pemilik seruan alam,  tetapkan hayi kami dalam ketakwaan padamu dalam segala kondisi hingga gemilangnya mengantarkan kami meraih RidhomMU. Aamiin...

Minggu, 17 September 2017

September bagi Pelangi

Pelangi di Bandara Soe-Ta

September selalu membawa cerita bagi Pelangi. 6 musim yang lalu,  Pelangi mengikhlaskan Langit bersama Angin. Meski perih, ia tetap membantu prosesnya hingga Langit dan Angin menjadi raja dan ratu sehari. 

Musim terus berganti,  Pelangi kembali bertemu dengan September. Pada musim lalu, Pelangi menemukan nuansa baru di bulan september. Manis seperti cotton candy yang disukai anak-anak. Awan hadir menorehkan cerita baru dalam lembaran hidup Pelangi. Menyapanya dengan lembut, menyelimuti hatinya dengan kehangatan, melukiskan senyum dan keriangan. Bagai musim semi,  bunga-bunga subur tumbuh dan berkembang di hati pelangi. 

Adalah sebuah keniscayaan, musim semi pasti berlalu. Lumat pada roda waktu. Masapun terus bergulir. September kembali menyapa pelangi. Kali ini dengan kisah yang berbeda dengan September musim lalu. Cerita 6 musim yang lampau kembali terulang di September kali ini. Pelangi kembali harus melepaskan. Merelakan Awan merangkai hidup dengan yang lain. Namun ada rasa yang berbeda dengan 6 musim lampau. Musim kali ini dilalui Pelangi dengan datar. Ia menelisik ke relung terdalam, adakah sedih ia temukan. Ternyata tidak. kembali ia menelusuri sudut kalbu,  adakah kecewa menyapa. Oh... tak ditemukannya. Perjalanan ia lanjutkan. Adakah kehilangan bertandan di sisi hati Pelangi.  Dengan mantap pelangi menjawab,  "aku tidak merasa kehilangan karena sejatinya aku tak pernah memiliki."


***
Terima kasih kisahnya, Pelangi. Kali ini kau menyuguhi ku pelajaran tentang cinta. Kepada cinta,  terima kasih telah memperlihatkanku berbagai wajah. Tentang sakitnya jatuh cinta diam-diam; jatuh cinta sendiri. Tentang pengecut nan munafik yang hanya berani di belakang dan mengkambinghitamkan cinta. Tentang makna kepemilikan dan cinta itu sendiri. Semoga kisah kalian bisa menambah bekalku ketika suatu saat cinta menyapaku.


Minggu, 30 Juli 2017

Dido dan wudlunya Yoda

Siang itu seperti biasa si anak ganteng dengan semangat menghabiskan bekal makan siangnya. Dalam sekejap, tanpa menunggu lama, kotak nasi berwarna hijau itu kembali kosong muatan. Ia segera memunguti beberapa butir nasi yang berjatuhan, membersihkan meja dan meletakkan kembali pada tempatnya. Sudah hafal dengan urutan aktivitas, setelah makan siang adalah waktunya menyikat gigi, berwudlu,  dan ganti pakaian. Dengan segera ia turun ke bawah sembari membawa sikat gigi yang telah diolesi pasta gigi. Tap...tap..tap suara langkah kakinya bersentuhan dengan lantai kayu saung kelas kami.

Alhamdulillah, tahun ini si anak ganteng memiliki teman baru lebih banyak. Itu artinya, antrian wudlu akan lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Dengan sabar ia menanti. Waktu berjalan. Satu per satu teman sudah selesai, barisan semakin maju, antrian semakin memendek. Tibalah giliran Yoda, sang adik kelas 1 berwudlu.

Si ganteng yang biasa disapa abang Dido oleh adik-adiknya mengamati Yoda berwudlu. Penglihatannya tak beralih, pengamatan dilakukan dengan seksama. Hingga tiba pada suatu moment si abang menangkap wudlu adiknya belum sempurna. Dengan sabar dan lembut ia mengajari sang adik berwudlu hingga tuntas. 

Dido (berbaju hitam) mengajari Yoda wudlu
Masha Allah, inilah pembentukan generasi. Naik kelas artinya penambahan barisan batu bata hingga bangunan kokoh terbentuk. Guru di kelas selanjutnya bertugas menggiring dan melestarikan kebaikan yang sudah tertanam pada anak. Meninggikan susunan batu bata dari guru-guru sebelumnya, hingga karakter postif terbentuk dan semakin melekat pada setiap anak.

Saling mengingatkan dan berbagi kebaikan adalah salah satu iklim yang dibangun guna membentuk karakter positif. Ketika semua orang di sekolah melakukan hal yang sama, maka tanpa sadar hal tersebut akan melekat. Pun pada anak-anak. Kali ini Dido membuktikannya. Semoga karena bimbingan bang Dido, Yoda jadi bisa berwudlu dengan benar dan tertib. Semoga jariah kebaikan terus mengalir padamu bang Dido! Barakalloh bang Dido. Dan semoga kita diistiqomahkan untuk terus saling mengingatkan dan berbagi kebaikan, aamiin.

Sabtu, 03 Juni 2017

syahdu nan melirik

Pagi di Azzikra,  Sentul

Pagi yang syahdu
aku ingin mengadu
perihal rindu
yang kian menggebu

Duhai siang yang terik
mata ini terus melirik
pada semua kenangan
yang semakin berterbangan

Hai senja yang damai
polikromatikmu melambai-lambai
menerbangkan asa
hingga mengangkasa

Wahai malam yang kelam
gelapmu melindungi alam
meski rasa masih mendalam
ku kemas ia dalam diam

Metamorfosa Wadah Rapot SD 4 Ibnu Rusyd

Sebulan lagi semester genap berakhir. Itu artinya waktu rapotan tiba. Ciri khas dari Sekolah Alam Indonesia adalah bila rapotan tiba, maka kami harus membuat wadah rapotnya. Aku dan partnerku memutuskan untuk membuat wadah rapot berupa hand bag terbuat dari lintingan koran yang digulung.
wadah rapot yang kami rencanakan

Melihat tingkat kerumitannya,  sebenarnya ini tidaklah rumit. Hanya saja membutuhkan waktu yang lama. Koran-koran harus dipotong sesuai ukuran,  lalu dilipat atau dilinting, selanjutnya lipatan-lipatan tersebut digulung hingga membentuk lingkaran. Barulah lingkaran-lingkaran koran tersebut dibentuk sedemikian rupa dan dilem hingga menjadi tas tangan yang manis. Cukup banyak tahapannya. Apalagi tas yang akan dibuat membutuhkan 120 lingkaran koran. Setiap lingkaran membutuhkan 3 buah lintingan koran. Artinya,  mereka harus membuat lipatan atau lintingan sebanyak 360 linting. Hemh... cukup banyak, bukan? Maka aku dan partnerku sepakat memulai dari 2 pekan sebelum ujian, atau sama dengan 1 bulan sebelum rapotan.

Ku kumpulkan anak-anak idiologisku, Personel SD 4 Ibnu Rusyd. Ku perlihatkan contoh wadah rapot pada mereka, apa saja yang dibutuhkan, apa saja tahapannya, bagaimana cara pembuatannya, berapa lama waktu yang dibutuhkan, hingga konsekuensi apa yang diterima bila wadah rapot tak selesai sampai ujian kenaikan kelas. Konsekuensinya adalah, mereka akan terus masuk hingga wadah rapot selesai. Maka, supaya wadah rapot selesai sesuai jadwal, harus dikerjakan dengan fokus; tidak boleh banyak ngobrol dan bercanda.

waktu terus berlari, tanpa terasa UKK tiba. Namun wadah rapot masih jauh dari selesai. Alhasil kembali kami meminta pada anak-anak untuk menyelesaikan wadah rapot sepulang UKK. Mereka setuju, akupun meminta izin pada para orang tua untuk meminta waktu tambahan selesai UKK. Pembuatan wadah rapot terus berlanjut. Qadarulloh... hingga UKK berakhir dan Ramadhan camp menjelang,  si wadah rapotpun masih jauh panggang dari api. rata-rata mereka baru bisa membuat 1/20 dari total lingkaran koran yang dibutuhkan. Maka, kami meminta mereka untuk kembali masuk untuk menyelesaikan.

Tampak wajah kecewa dari beberapa anak. Aku menerima rasa kecewa mereka. Ku ajak mereka bicara, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi bagaimana cara mengerjakan wadah rapot kemarin, lalu apa solusi yang harus dilakukan. Merekapun menyampaikan solusi. Alhamdulillah, solusi disepakati, mereka menerima untuk tetap masuk hingga pekerjaan selesai. Ku lihat ada perubahan dari cara kerja mereka. Kesungguhan benar-benar tampak. Satu demi satu lingkaran terbentuk. 

Hari berganti. Tak terasa Kamis tiba,  dihari libur nasional itu mereka tetap semangat ke sekolah untuk menyelesaikan pekerjaan. Jumlah lingkaran koran masih sangat jauh dari kebutuhan. Ini tidak akan selesai. Tas yang semula kami rencanakan, tidak akan selesai. Sementara waktu tinggal 2 hari. Aku dan partnerku sepakat melihat proses, bukan hasil. Dan apa yang kami mau, sudah kami dapatkan. Kami mau anak-anak bersungguh-sungguh, fokus, bertanggung jawab, dan menyelesaikan pekerjaannya. Masalah hasil, itu adalah hak preogatif Allah. Kami percaya, hasil tidak pernah menghianati proses. 

Jujur, sempat stress melihat pekerjaan yang tak kunjung rampung dan tidak tega melihat mereka terus masuk untuk menyelesaikannya, sementara semua kelas lain sudah libur. Dan secara logika, tidak akan selesai dalam waktu 2 hari. Akhirnya, ku putuskan merubah bentuk wadah rapot. Toh, apa yang kami inginkan dari anak-anak sudah kami dapatkan. Mereka bersungguh-sungguh, fokus, dan bertanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Wadah Rapot yang berhasil dibuat

Tas tangan yang semula kami rencanakan, ku ganti dengan membuat paper bag dari koran. Dan anak-anak serta partnerku sepakat dengan ideku. Lingkaran-lingkaran koran yang sudah mereka buat, digunakan sebagai penghias paper bag agar tampak lebih manis. Alhamdulillah, Kamis siang wadah rapot selesai. Anak senang, kami tenang. Alhamdulillah, mereka bisa libur dan fokus beribadah Ramadhan di rumah. Thanks ya gaes, kalian memang luar biasa. Walau wadah rapot kita tidak sesuai rencana, jujur aku bangga pada kalian; salut dengan semangat, kerjasama, kegigihan, dan tanggung jawab kalian. Semoga Allah selalu istiqomahkan kalian dalam kebaikan.

Rabu, 10 Mei 2017

Berubah kenangan

Seolah berlari ia berjalan
Baru saja bermula
Namun ternyata sudah di penghujung
Baru saja bersua
Tiada terasa  perpisahan menyapa

Fajar baru saja menyingsing di ufuk timur
Tetiba senja menyembul di balik mega
Tawarkan damainya jingga berbalut orange

Kini... tinggal menghitung masa
Bulan berkurang menjadi pekan
Pekan menyapa berubah hari
Hari menjelma sebagai jam
Jam bermetamorfosa menjadi detik
Lalu semua berubah menjadi kenangan

Andai ku bisa hentikan dirimu,  duhai waktu
Kan ku simpul kau agar tak bergeming
Untuk sampaikan tanya yang menyesak
Mengapa kau berlari bak tanpa jeda
Tanpa pernah menunggu kesiapanku
menikmati senja di Leuwiliyang

Kamis, 13 April 2017

Outing Batuan #Day 3

Day 3

Outing panjang di hari kedua ditutup dengan tidur malam. Kegiatan hari ketiga diawali dengan sholat subuh, alma'tsurat, dan murojaah dari Qs. Al-Mulk hingga An-Naas. Sembari menunggu santap pagi, kami sempat gegoleran. Tak lama sarapan tiba. Nasi goreng nan masih mengepul begitu menggugah selera. Dengan sekejap anak-anak membuat antrean. Tanpa menunggu lama, piring-piring berisi nasi itu kembali kosong.






Setelah sarapan dan berganti pakaian kami bersiap caving tak lupa raincoat, headlamp, helm, dan sepatu boot menggenapi perlengkapan kami. Tak butuh waktu lama, kamipun tiba di mulut gua. Kondisi gua yang minim oksigen membuat rombongan dibagi menjadi 2 kelompok. Aku, Ammar, Calvin, Fawwaz, Gavan, Aurel, dan Iffat, serta 2 orang dari tim Linggih alam memulai caving pertama. Sedangkan Pak Aris, Hakim, Lee Fael, Razan, dan Zaidan, serta tim linggih alam pada giliran berikutnya.






Aroma gua yang khas mulai menyapa indera pembau kami. Medan nan licin dan penuh tanah membuat kami ekstra hati-hati. Maklumlah, hampir semua dari kami adalah newbie dalam hal caving. Gua yang kami jelajahi adalah gua Cikarae, terletak di desa Kelapa Nunggal Citereup. Konon, di dalam gua ini terdapat ikan Karae. Ikan Karae hanya tinggal di dalam gua tersebut. Itulah sebabnya si gua diberi nama Gua Cikarae.

mutiara gua

Banyak ilmu yang kami pelajari saat caving. khususnya ornamen goa yang terbentuk dari tetesan atau air yang mengalir. Ada stalaktit dan stalakmit yang terbentuk 1 mm/tahun. Ada stodastraw yang menyerupai sedotan, atau draferis yang seperti sisir. Ada juga gordam yang bentuknya seperti terasering di lahan miring. Tak ketinggalan gorden yang bentuknya menyerupai gorden jendela. Ada pilar yang terbentuk dari pertemuan stalaktit dan stalakmit. Dan yang terunik adalah mutiara gua, sebuah gurat hitam nan bercahaya pada dinding gua.

Jangkrik Gua

Satu per satu kami mengamati apa yang ada di goa. Selain ornamen yang mengagumkan, terdapat biota goa yang unik. Hewan yang kami temui adalah jangkrik gua, laba-laba gua, udang, dan cacing. Memang sih di luar gua hewan-hewan tersebut ada, namun ada perbedaan dengan yang kami temui di dalam gua. Misalkan saja jangkrik gua, ia memiliki antena yang panjangnya 7 kali lipat dari panjang tubuhnya. Dan ini sangat berbeda dengan jangkrik di luar gua. Antena yang panjang berfungsi untuk menangkap rangsang, karena sinyal di dalam gua sulit, maka jangkrik gua membutuhkan antena yang lebih panjang dari jangkrik pada umumnya. Udang yang kami temui di gua memiliki ukuran yang lebih kecil dan tubuh yang transparan. Berbeda dengan udang yang ditemui di habitat lainnya. Masha Allah, Maha Hebat Allah yang telah mendesain bentuk dan alat tubuh sesuai dengan kebutuhan mahluknya.

istirahat setelah caving

Alhamdulillah, caving berjalan lancar sesuai rencana. Anak-anak sangat antusias dan senang. Bahkan mereka mememinta untuk kembali masuk ke gua. Namun karena sudah ada agenda selanjutnya, permintaan mereka tidak kami luluskan. Maaf ya guys. Kegiatan dilanjutkan dengan susur sungai.
briefing sebelum susur sungai

Sungai Cileungsi adalah tujuan kami. Sungai itu berjarak sekitar 5 km dari gua Cikarae. Di sana kami meminta anak-anak mengambil sample batuan, mengidentifikasinya dan di waktu yang akan datang mereka presentasikan di depan kelas. Selain itu kami juga meminta mereka mengambil batu dan mengubahnya menjadi sebuah karya seni. Kegiatan ditutup dengan bermain air di sungai. Tanpa menunda waktu, anak-anak segera menjalankan tugasnya. Tak butuh waktu lama, misi selesai, dan saat yang ditunggu-tunggu tiba, main air.










Ku lihat mereka sungguh menikmati. Ada yang berdiam diri dan membiarkan tubuhnya dibawa arus, ada yang kecipak-kecipuk di tepi sungai, ada yang bermain siram-siraman, ada yang berenang, sedangkan partnerku asik mengabadikan moment. Terlihat mereka begitu menikmati aktivitas masing-masing. Pukul 14.00 free play selesai, kami lanjut makan siang secara banjakan di pinggir sungai, dan setelah itu kami pulang ke rumah pak Eman untuk bersih-bersih dan sholat.










Setelah makan malam, kami berkunjung ke Rumah Baca Linggih Alam. Rumah Baca Linggih Alam merupakan bentuk kegiatan sosial dari Komunitas Linggih Alam kepada masyarakat sekitar yang rata-rata golongan ekonomi menengah ke bawah. Selain menyediakan buku-buku, alat peraga, mereka juga membuka pengajian bagi anak-anak sekitar. Aku dan partnerku berniat membawa anak-anak ikut dalam kegiatan Rumah Baca Linggih Alam agar mereka memiliki wawasan dan pengalaman baru. Jadilah di malam hari ditemani rinai hujan kami berkunjung ke sana. Qodarullah, rencana kami tak terwujud. Rumah Baca Linggih Alam sedang tidak ada aktivitas. Anak-anak libur karena sedang mengaji di rumah seorang ustad. Alhasil, anak-anak SD 4 hanya membaca buku koleksi Rumah Baca Linggih Alam. Malam semakin larut, kami memutuskan untuk pulang ke penginapan. Sebelum pulang kami menyampaikan titipan para orang tua siswa kepada Rumah Baca Linggih Alam. Semoga setitik tanda cinta dari kami bisa bermanfaat bagi saudara-saudara kami di sini.

Malam yang semakin larut, hujan yang turun lembut, tubuh yang telah letih, mata yang mengantuk membuat kami bersegera tidur. Dengan sigap anak-anak menata barang, menggosok gigi, dan berwudlu. Hari itu semua nampak lelah, namun terpancar rona bahagia di wajah-wajah polos para solih dan solihat di hadapanku. Oke deh guys, selamat tidur ya, besok aktivitas kita lanjutkan kembali. semoga hari kita bermanfaat.


Rabu, 12 April 2017

Outing Batuan #Day 2

Day 2...

Setelah semalam kami menginap di sekolah dan sebelum ayam berkokok kami memulai perjalanan, alhamdulillah outing hari ke-2 dimulai. Kami berangkat dengan dua mobil. Aku bersama dua princes dan 4 pangeran berada dalam 1 mobil. Sementara Pak Aris dan 4 bocah ganteng di mobil yang satu.

Pukul 08.00 kami tiba di Bandung, wabil khusus Museum Geologi. Kegiatan diawali dengan sarapan di sekitar museum. Bubur ayam Cirebon adalah menu yang dipilih para solih/at SD 4 ibnu Rusyd. "sudah berada di Bandung, kenapa makannya bubur ayam Cirebon,  bukan bubur ayam Bandung?" tanyaku pada anak-anak yang semeja denganku. "karena bubur ayam itu khasnya dari Cirebon,  bukan dari Bandung" jawab Hakim yang ku balas dengan senyuman.

Anyway... setelah sarapan kami langsung cus ke Museum Geologi. Tampak binar antusias dan rasa ingin tahu yang teramat dari wajah-wajah polos itu. Apalah lagi kehadiran kami di sambut oleh batuan yang berasal dari fosil kayu yang berumur 2-3 juta tahun. Setelah cekrak-cekrek dan beli tiket,  kami segera masuk. Pengamatan dimulai. Waw... museum tampak penuh. Padat oleh para peserta didik dari berbagai jenjang pendidikan yang berasal dari berbagai daerah. Kami menepi sembari mengkondisikan para calon orang-orang sukses di masa depan ini.

Setelah kepadatan sedikit berkurang, kami mulai melajukan pengamatan. Tak lupa worksheet diberikan sebagai bentuk assessment dari kegiatan outing ini. Satu persatu batuan mereka amati, berbagai display mereka sentuh, raba dan amati. "Ini dia batu obsidian yang aku tunggu-tunggu" celetuk dari salah satu anak gantengku. kekaguman tampak dari wajah-wajah mereka. Setelah puas melakukan observasi batuan, awalnya aku dan Pak Aris sepakat untuk segera pulang dan melanjutkan perjalanan ke Citereup. Namun tetiba si anak minta masuk ke arena sejarah kehidupan. Ya sudah,  mumpung ada di museum dan waktu memang masih tersisa satu jam dari rencana kepulangan kegiatan dilanjut melihat arena tersebut. Sebuah kesempatan belajar yang sayang bila dilewati.













Sesuai rencana, pukul 14.00 kami pulang. Tak lupa hunting tempat asik untuk makan siang, maklum sang penghuni perut sudah berteriak minta jatah. Kali ini, ayam penyet yang jadi menu pilihan. Dengan lahap mereka menyantap menu yang sudah terhidang. Dalam sekejap piring-piring terbuat dari lidi nan dianyam itu kembali bersih dari isinya. Perut kenyang, hati tenang. Perjalanan ke Citereup kembali dilanjutkan.

Sepanjang perjalanan kami mengisi dengan bermain abc 5 dasar. Mulai dari menebak nama-nama batu dan mineral (lumayan, sebagai sarana memilenasi ingatan mereka terhadap materi) hingga nama kota, negara, hewan, dan buah. Mereka begitu semangat berfikir mencari jawaban. Tak ada rasa lelah. Tawa yang menggelegar menyelingi permainan kami tatkala ada jawaban-jawaban ngaco yang terlontar. Hingga kantuk yang mendera mengakhiri permainan seru itu.

Jalan macet total. "Alamat ga sampe sesuai rencana ini" fikirku. Bak batre yang selalu dicas, tenaga mereka seolah-olah tak habis. Canda tawa menemani perjalanan kami. Singkat cerita,  pukul 22.00 kami tiba di "homestay", mulur 6 jam dari rencana. Namun demikian, anak-anak tetap ceria. setelah makan malam dan bersih-bersih, agenda dilanjutkan dengan istirahat. Waktu yang makin larut menjadikan rencana kegiatan tak dapat dilaksanakan.

#catatan outing