Minggu, 31 Januari 2016

Surat untuk adikku

bismillahirrahmanirrahiim,...


Rabu 27 Januari 2016.  Siang ini di kelas tinggal kami berempat. Naufal yang masih menikmati snack nya, Naira yang sedang mengamati keadaan, Aku nan tengah asik menyantap sarapan sembari berdiskusi dengan Pak Fatwa partner kelasku, sementara anak-anak menghabiskan waktu istirahatnya dengan bermain di playground.

“Bu Rima, Bu Rima punya adik?” tanya putri semata wayangku menghentikan diskusi aku dan Pak Fatwa.
“Punya Nai” jawabku singkat.
“Adik nya laki-laki atau perempuan?” tanyanya dengan mata berbinar.
“Adik aku laki-laki Nai” jawabku sembari menatap wajahnya yang menggemaskan.
“Owh, aku kira perempuan. Adiknya Bu Rima sudah besar atau masih kecil?” tanyanya penasaran.
“Adik Aku sudah besar Nai, sudah lebih besar dari Pak Fatwa” tegasku sambil mencubit pipinya nan putih merona.
“Nama adiknya Bu Rima siapa?” selidiknya.
“Namanya David, kakak cantik” jawabku sambil kembali ku cubit pipi tembamnya.
“Owh.. oke deh Bu Rima” ucapnya sembari berlalu ke luar kelas.

Perbincangan kami berakhir. Naira tak bertanya kembali tentang adikku. Dua hari berlalu, aku mulai lupa dengan diskusi ringan ku dengan Naira di kelas saat istirahat dua hari lalu. Namun sepertinya tidak dengan Naira.


Jum’at adalah jadwal renang kami. Setelah buka kelas, kami segera menuju kolam renang. Anak laki-laki renang di tempat berbeda dengan kami. Otomatis fokus utamaku adalah menjaga Naira, meski aku tetap tidak boleh mengabaikan anak-anak kelask- yang lain.


Naira menghampiriku dengan membawa sebuah amplop hijau muda. Dengan wajahnya yang tersenyum Naira memberikan amplop tersebut kepadaku.

“wah... ini surat Nai?” tanyaku terkejut
“iya bu” jawabnya singkat
“Aku dapat surat lagi Nai? Ini untuk ku Nai?” tanyaku antusias
“Bukan, surat ini untuk adiknya Bu Rima” ujarnya penuh semangat
“ini buat adiknya Bu Rima? Tapi adiknya Bu Rima ga ada di sini Nai. Tinggalnya jauh di luar kota. Aku ngasihnya lama, ga papa?” Tanyaku kembali
“iya ga papa” jawabnya singkat
 “apa ni isinya? Aku jadi penasaran” tanyaku  disambut tawa kecilnya
“buka aja Bu, boleh kok. Sini aku bantu, bukanya dari sini ya bu. Lemnya dicopot aja” jawabnya sambil membantukumenunjukkan cara membuka amplop.
“jangan deh, ini kan buat adiknya Bu Rima. Nanti aja aku bukanya” cegahku
ga papa Bu  aku kan juga pengen, Bu Rima liat isinya” ucap Naira

Kubuka surat itu perlahan, ku keluarkan isinya. Sebuah kertas origami halus berwarna kuning menyala dan sedikit warna merah cabai. Ku perhatikan bentuknya nan terlipat. Ku buka perlahan hingga ku tahu ternyata kertas origami itu berbentuk kapal berwarna kuning dengan hiasan ornamen merah.

“Ini kapal Nai?” tanyaku singkat
“Iya Bu. Aku buat sendiri loh.” jawabnya
“Kapal-kapalannya buat apa Nai?” tanyaku kembali
“Buat adiknya bu Rima main. Tolong sampein ya bu.” Ucapnya anusias dan mata berbinar.
“Iya Nai, in sya Allah aku sampaikan. Makasih ya Nai.”



Aku tak menyangka Naira perhatian pada adikku. Pemberiannya membuatku sangat terharu. Meski Naira tak pernah kenal dan berjumpa pada adikku, ia mau bersusah payah membuat kapal-kapalan untuk adikku bermain. Terimaksih ya Nai, perhatianmu begitu berarti buatku. Perhatianmu mengajarkanku bahwa peduli itu tak harus pada orang yang dikenal dan pernah dijumpai. Peduli itu berlaku bagi semua mahluk Allah. Terimakasih guru mungilku, atas ilmu nya pagi ini.

Kamis, 21 Januari 2016

Hadiah di pagi hari


“Ngik ....ngik” suara printer menemani kesendirianku di kantor pagi ini. Satu per satu kertas keluar dari mesin cetak tersebut. Lamat-lamat terdengar suara langkah-langkah mungil mendekatiku, namun aku masih asyik memperhatikan antrian kertas yang keluar dari mesin cetak sederhana ini.

“Bu Rima... sedang apa?” suara putri cantikku memecah keheningan.
“Owh... aku lagi nge-print Kak” jawabku singkat.
“Buat apa itu bu?” tanyanya penuh selidik.
“Ini worksheet buat kita outin, aku baru sempat print sekarang Nai, maaf ya” ujarku menjelaskan.

Tak lama hening membersamai kami. Naira hanya mempehatikan ku mengecek hasil print out dari setiap kertas yang keluar. Wajahnya terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Aroma tubuhnya yang khas anak kecil membuatku betah berlama-lama berada di sampingnya.

“Bu..aku punya sesuatu untuk ibu” tuturnya membuyarkan perhatianku.
“Wah... senangnya. Apatuh Kak?” penasaranku membuncah.
Sret...sret suara resleting tasnya berdecit pertanda iya membuka tasnya. Tak lama sebuah amplop berwarna biru muda ke luar dari genggaman tangannya yang mungil.
“Ini bu, aku bikin ini untuk Bu Rima” tuturnya bersemangat.

Masha Allah... apa itu Nai?” selidikku ingin tahu.
“Ini bu, aku bikin ini sendiri, karena ga ada amplop, jadi amplopnya juga aku bikin sendiri. Ada gambarnya juga loh Bu.” Jelasnya panjang lebar.

Sebuah amplop birulengkap dengan perangko buatan sendiri bergambar perempuan berambut panjang tetiba mendarat di tanganku. Kertas HVS halus itu terasa begitu spesial bagiku. Bentuknya yang sederhana dan unik menghadirkan rasa tertentu di sudut kalbu. “Rabbi.... ini hadiah terindah diawal pagi” batinku membisik.

“Terimakasih ya Nai, aku senang sekali mendapat hadiah dari Naira” sambutku smbari memeluk amplop biru muda itu.
“BuRima suka?” tanyanya antusias.
“iya kak, aku suka banget. Nanti aku baca ya kak. Terimakasih ya cantik” ucapku.
“Aku senang kalau Bu Rima senang” jawabnya dengan mata berbinar dan senyum mengembang.
“ya udah deh, aku Cuma mau kasih itu aja. Aku kelas dulu ya Bu. Dagh Ibu, assalamualaykum bu Rima” ujarnya menutup percakapan indah pagi ini.

Langkah Naira perlahan menjauh dariku. Kini tubuhnya telah hilang dari pandangan mataku, aroma tubuhnya yang khaspun turut menguap seiring dirinya yang makin menjauh dariku. Sepenggal kisah pagi ini telah mampu hadirkan semangat dan optimisme baru dalam diri. Ada rasa berbeda di pelosok relung hati. Entahlah... rasa apa namanya. Aku tak mau mendeskripsikannya. Namun yang pasti kesimpulanku satu, sungguh bahagia itu sederhana. Tuhan..., bahagia itu begitu dekat. Bahagia itu ada bersama guru-guru mungilku. Bahagia itu ada di sini, meski hanya sepucuk surat beramplop biru muda.

Senin, 18 Januari 2016

Sebungkus nasi uduk

Bismillahirrahmanirrahiim...


Hari ini aku sengaja berangkat lebih awal mengingat ini adalah hari Senin. Biasanya hari Senin jalanan lebih ramai dan macet, maka sebungkus nasi uduk yang dibelikan ibu sebagai sarapan tak sempat ku makan. “bawa sajalah ke sekolah” fikirku.

Aku sampai di sekolah 5 menit lebih lama dibandingkan waktu biasa ku tiba. Setelah briefing pagi, aku bersama anak-anakku segera buka kelas sebagai awalan kegiatan belajar. Jam petama adalah pelajaran bahasa. Kali ini aku meminta anak-anak untuk membuat laporan pembuatan ulat dari karton telur. 30 menit waktu yang diberikan, namun belum semua anakku selesai mengerjakan. Aku meminta mereka untuk menangguhkan pekerjaannya dan melanjutkan kembali saat istirahat. Pelajaranpun dilanjutkan dengan pelajaran agama, tadabur hadits.

Waktu berjalan pasti, tak terasa sudah pukul 09.30, artinya waktu istirahat tiba. “oke... it’s time for snack” ucapku yang disambut sorak-sorai anak-anak. Satu persatu mereka turun untuk mencuci tangan dan memakan snack yang sudah mereka bawa.

Seperti kesepakatan diawal, anak-anak yang belum selesai membuat laporan akan menyelesaikan laporannya saat istirahat. Dengan penuh kesadaran mereka melanjutkan tugas yang tertunda. Sementara anak-anakku yang lain tengah asyik bermain di lapangan dan play ground. Sembari menemani mereka menyelesaikan tugas, ku buka bekal nasi udukku. Tanpa menunggu lama segera ku santap nasi uduk yang sangat menggugah selera. Seorang putri cantik mendekatiku. 
“ibu makan apa? Kayaknya pedas ya?” tanyanya mengandung maksud.
“iya pedas, Naira mau?” tanyaku menembak.
“Naira suka pedas kok bu” balasnya.
“Naira mau coba, boleh kok? Ucapku sembari menyodorkan sendok yang segera disambut penuh senyum.
“iya... ini enak bu. Tidak pedas. Aku suka. Makasih ya Bu Rima” tandasnya dengan mulut yang masih mengunyah.
“sama-sama cantik” balas ku

Ku lanjutkan makanku yang terseling. Tak lama berselang, naira kembali menghampiri sendok makanku dan kembali menyuapkan nasi uduk ke mulutnya. “bu Rima, aku tambah ya nyoba nya” izin Naira padaku yang ku balas dengan senyum mengemebang, “enak ya Nai?” tambahku. Akhirnya kuputusakan untuk menyantap nasi uduk bersama Naira.

Keasyikan kami makan ternyata menggoda Dido yang tengah asik menulis. 
“bu, aku juga mau itu, aku suka pedas” ucapnya tanpa memalingkan wajah dari buku tulis.
“Dido mau coba?” tanyaku
“iya... aku suka nasi uduk” balasnya
“oke, Dido boleh coba setelah selesai menulis ya. Aku tunggu Dido. Oke!” ujarku

Tak sampai 1 menit Dido berhasil menyelesaikan tulisannya. Segera ia menyantap dengan lahap nasi uduk yang memerah karena sambal. Melihat Dido yang lahap, Abraar yang masih menikmati snacknya pun tergoda. Segera ia habiskan snacknya dan meminta izin padaku untuk ikut mencoba mencicipi nasi uduk.

Melihat lahapnya mereka makan, akhirnya ku putuskan untuk menyantap sebungkus nasi uduk ini secara bersama-sama. Mereka rela menunggu sendok-sendok makan bergantian menghampiri. Rasa pedas sambal yang membuat nasi uduk memerah tak mereka rasakan. Masha Allah, nikmat begitu terasa. Meski nasi tak banyak, dan hanya ada satu sendok makan yang dipakai bergantian tak mengurangi serunya acara kami. Sungguh bahagia itu sederhana, sesederhana menyantap sebungkus nasi uduk bersama guru-guru mungilku.