Jumat, 06 Februari 2015

Aku hanya mau lihat daya pantul jambu ini, bu Rima

Bismillahirrahmanirrahiim...

Awal bulan ini aku mau bercerita tentang Fawwaz, sahabat sekaligus guru kecilku. btw, sebelumnya aku juga sudah pernah nulis tentang Fawwaz, silahkan dibaca di sini ya sob ^_^

Rabu (4 feb) pagi setelah buka kelas KBM diawal dengan Qur’an. Bu Dede sang guru Qur’an tengah asik menyimak bacaan utsmani siswa satu persatu, semantara Hakim diamanhi tugas memuraja'ah hafalan teman-temannya yang sedang menunggu antrian membaca Utsmani. Sedangkan aku tengah asik mempersiapkan materi pelajaran untuk besok. Lantunan surat Al-Fajr begitu indah terdengar. Tak jarang bacaan yang keliru diluruskan oleh sang penanggung jawab muraja’ah, Hakim. Sering dengan itu antrian utsmani pun terus berjalan. Setelah Fawwaz menyelesaikan utsmaninya dengan bu Dede, ia segera menuju pos muraja’ah bertemu Hakim. Antrianpun berjalan, tibalah giliran Fawwaz ‘menyetor’ hafalannya. Surat Al-Fajr begitu lancar ia baca tanpa salah sedikitpun. Dengan aksen Australi-nya yang masih kental muroja’ah Fawwaz begitu enak dan renyah didengar.

Sejenak ku tatap  layar laptopku, ditengah asiknya ku menyiapkan materi untuk besok, tetiba mataku menangkap Hakim yang sedang memukul Fawwaz. “stop.... Abang Stop!! Ada apa ini?” tanyaku terkejut dan hanya dijawab oleh tangisan Hakim yang tetiba mengeras. Ku dekati Fawwaz, kutanya perlahan dengan wajah datar’ “ada apa nak, kok Hakim memukul Fawwaz?” dengan matanya yang berkaca-kaca Fawwaz hanya tersenyum kecut, ku tanya pada bu Dede, apa yang terjadi? Ternyata Hakim ditimpuk jambu biji sebesar telur ayam kampung oleh Fawwaz.

Sementara Hakim tengah menangis memeluk kakinya sembari memendamkan wajah, Ku dekati Fawwaz, ku tatap lembut wajahnya, ku berharap tatapanku tak menghakiminya. Ku tanya perlahan sembari memeluknya, “ada apa Fawwaz, Fawwaz timpuk Hakim dengan jambu biji?” pertanyaanku hanya dijawab anggukan oleh Fawwaz. “Fawwaz sedang membayangkan apa dari jambu biji itu?” tanyaku sembari menahan kestabilan nada bicara. “aku hanya ingin melihat daya pantul dan kecepatan pantulan dari jambu biji ini, bu Rima” jawabnya dengan suara yang ditahan. “lalu?” tanyaku lagi. “aku ga tau kalau jambu ini kena bibir Hakim, aku ga sengaja bu Rima” jawabnya hampir terisak.

Ku peluk bocah 7 tahun itu, berharap pelukanku mampu meredakan ketakutannya. Ku belai punggungnya. Ku coba samakan irama detak jantung kami agar  ia kembali tenang. Setelah ku yakin jantung kami seirama, ku coba katakan padanya  “Fawwaz, besok kalau Fawwaz mau melakukan project science, lihat sekelilingmu ya nak, pastikan itu aman bagimu, aman bagi teman-temanmu. Atau Fawwaz lakukan project science itu jika tidak ada teman di sekeliling Fawwaz agar tidak ada yang terkena efeknya. Fawwaz mengerti maksud aku?” seketika Fawwaz menatapku tajam dan ia menganggukan kepalanya. “Fawwaz boleh bereksperimen, satu pesan aku, tetap jaga keamanan diri Fawwaz dan teman-teman, oke?” tanyaku kembali. “iya bu Rima” jawabnya singkat. “oke sekarang aku mau lihat Hakim dulu ya” ucapku menutup percakapan.

Ku hampiri Hakim yang masih tersedu. Ku belai punggungnya, ku dekap tubuhnya sembari berkata, “abang sudah mau cerita kejadiannya atau masih mau menangis?”. Pertanyaanku hanya dijawab oleh isakan tangisnya yang begitu tersedu. Ku hapus air matanya dengan tisu. Ku belai kembali punggungnya. Ku tunggu beberapa waktu hingga ia tenang dan siap bicara. “boleh aku lihat bibir abang agar aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk menolong abang?” tanyakku menghentikan tangisnya. Hakim mengangkat wajahnya dan tampaklah bibir kiri atasnya yang membengkak. Ngilu tetiba merasuk tubuhku. Sambil berusaha tetap tenang dan tidak panik ku tawarkan mengoleskan minyak butbut padanya. “abang mau aku oles pakai minyak butbut? Akan terasa sedikit nyeri dan bau yang ga enak, tapi insya Allah ini akan membuat bengkaknya cepat hilang dan sakitnya reda.” Ucapku meyakinkan. Hakim menjawab dengan anggukan lemah. Segera ku ambil minyak but-but di kantor dan ku oleskan di bibir nya yang membengkak. “Bismillahirrohmanirrohim, semoga Allah menyembuhkan memar di bibir abang” doaku sebelum mengoleskan. “sabar ya bang, tahan sakit dan baunya yang ga enak” sambungku lagi. “kalau Cuma bau, aku mah tahan bu Rima” ucap Hakim mmbuatku tersenyum.

Setelah Hakim tenang dan aku oleskan minyak di bibirnya kembali ku dekati Fawwaz. “Fawwaz lihat bibir Hakim? Itu sakit nak, ingat pesan aku tadi ya. Kalau mau bereksperimen lihat sekelilingmu, pastikan semua aman” kembali ku ulang pesanku dan hanya dijawab dengan anggukan dan wajah penuh sesal dari Fawwaz. “Fawwaz sudah siap minta maaf ke Hakim?” tanyaku penuh selidik. Fawwaz tersenyum menjawab pertanyaanku dan segera menghampiri Hakim. Namun, Hakim yang masih marah belum mau memaafkan Fawwaz. Ku katakan pada mereka berdua “jika kalian sudah siap untuk saling memaafkan, maka lakukan sekarang. Kalau belum, jangan berlama-lama menyimpan marah. Aku tunggu kalian untuk saling memaafkan ya. Sekarang aku kembali ke pekerjaanku lagi.” Ucapku menutup percakapan.


Ku lanjutkan pekerjaanku yang sempat terhenti, ku tatap layar laptop sembari memperhatikan gerak-gerik para jagoanku di kelas. Tak sampai beberapa lama ku lihat Fawwaz dan Hakim sudah kembali bermain bersama. Huft.... anak-anak, cepat marah dan cepat kembali memaafkan. Alhamdulillah ketidak sengajaan ini berakhir damai. Terimakasih ya nak, kalian kembali ajarkan aku untuk tidak panik dan menghakimi suatu kejadian. Terimakasih nak, kembali kalian ingatkan aku untuk memaafkan kesalahan orang lain. 

0 comments: