Kamis, 20 Maret 2014

yang dari hati akan sampai ke hati

Bismillahirrohmanirrohiim...




kali ini aku ingin berkisah tentang pengalaman berhargaku, tentang seorang yang istimewa dan telah menyadarkanku untuk bagaimana menyanyangi dengan hati. sebut saja "A", seorang bocah berusia 5 tahun. seorang anak berkebutuhan khusus yang Allah anugrahkan bagi sekolah kami. sebuah amanah yang tak mudah untuk kami emban. hingga usianya saat ini "A" masih belum bisa bicara lancar seperti teman-teman seusianya. terkadang kami sering ga ngerti apa yang "A" katakan. tak jarang "A" menggunakan bahasa fisik (pukul, dorong) untuk menyampaikan maksudnya. oleh sebab itulah, kami (guru dan siswa) mengajarkan satu kata tiap harinya pada "A" sebagai stimulus baginya untuk bicara.

jujur pada awalnya sikapku ke "A" hanya sangat biasa. aku tidak melibatkan hatiku, tidak seperti pada anak-anak lainnya. selain aku bukan wali kelasnya, sikapnya yang menurutku sulit diatur juga bicaranya yang belum jelas membuatku tak sepenuh hati dengannya. ketika ia datang pagi hari, aku hanya menyapanya sekedar basa-basi, tidak seperti anak-anak yang lain yang kupeluk dan kucium saat mereka tiba di sekolah. dan... ternyata "A"pun merasakan sikapku yang setengah-setengah ini. "A" juga agak berjarak denganku dibanding dengan teman-temanku yang lain.

jujur aku malu jika mengingat sikapku dulu pada "A". malu pada diri sendiri, malu pada "A", malu pada murid-muridku dan tentunya malu pada Rabb-ku. teman-teman se kelas "A" begitu menerima dan memahami nya. mereka saling menjaga "A" saat di sekolah, terlebih saat outing ke luar. mereka mengajari "A" untuk bicara, menyikat gigi, atau kegiatan belajar lainnya. sungguh aku malu pada mereka, bukankah seharusnya aku yang mencontohkan itu semua pada mereka, bukan sebaliknya... 

hari berjalan begitu cepat, mulai terlihat perkembangan pada "A". bahasa fisik sudah mulai berkurang, keaktifan "A" sudah bisa dikendalikan dan dialihkan. sekolah dan orangtua "A" sepakat untuk mendatangkan terapis bagi "A" sebagai persiapannya di kelas 1 besok. dan, dipilihlah selasa sebagai hari terapi untuk "A", dan bertepatan pula setiap selasa aku tak ada kelas. so... akupun tertarik untuk mengikuti terapi tersebut, alhamdulillah sang psikolog mengizinkanku menjadi asistennya.

suatu hari saat "A" diterapi bicara, kondisi sekolah sangat bising. "A" yang memang sensitif terhadap suara bervolume keras menjadi tidak terkontrol. ia menutup kedua telinganya sambil menangis dan menjerit. "A" ketakutan, ia berlari tak tentu arah. segera kudekap "A", tapi "A" meronta. akhirnya tak ada jalan lain aku dekap badan dan tanganny dengan keras dengan tanganku, sementara kakiku menegapit erat kakinya yang menendang-nendang. "A" semakin aktif, dan reflek akupun semakin keras mendekap tubuh mungilnya.

ketika tangisnya mulai reda dan tubuhnya tak lagi meronta-ronta, aku lepaskan dekapanku, lalu kupeluk tubuhnya lembut sambil meminta maaf, karena sepertinya "A" merasa sakit saat ku dekap tadi. "A" juga memelukku. ia kembali menangis meski tidak berteriak dan meronta sambil memukul-mukul punggungku. jujur, aku merasa terluka dengan pukulan dan tangisnya. bukan karena sakit dari pukulan tersebut, bukan!!, karena "A" memukulku dengan pelan, tapi seolah ku menangkap bahwa pukulan lembut tersebut seraya mewakili isi hatinya yang terluka dengan sikapku selama ini, pukulan itu seperti gambaran kekecewaannya padaku yang tidak adil dengannya, pukulan itu juga seperti rentetan pertanyaan darinya mengenai mengapa aku membedakannya. "A"... aku merasakan kepedihanmu selama ini atas sikapku yang setengah-setengah, "A" aku merasakan kemarahanmu atas ketidak adilanku, "A".... "A"..."A"... maafkan aku yang belum tulus menerimamu, menyayangimu, mencintaimu. maafkan aku yang tak pernah memelukmu saat kau tiba di sekolah, sementara teman-temanmu aku sambut dengan peluk hangat dan kecupan lembut."A".... maafkan aku... maafkan aku, izinkan kutebus semua ini, izinkan ku mendapat kesempatan untuk perbaiki semua ini. 

tak terasa air mataku jatuh dipundaknya  yang masih memelukku sambil memukul mengiringi rintihan permohonan maafku padanya. aku menyesal!!. "A" telah membuka mataku, membuka hatiku, meluruskan kekeliruanku, meluruskan niatku dan mengajarkanku bagaimana seharusnya seorang guru bersikap. mmafkan aku "A". 

setelah beberapa kali ku meminta maaf, pukulan "A" dipunggungku berhenti, tangisnyapun berhenti, ia menatapku dan kembali memelukku. jujur, pelukannya berbeda, tidak seperti pelukan sebelumnya. apakah ini pertanda "A" telah memaafkanku?? entahlah... yang jelas ku sambut pelukannya dengan hangat. pelukan dari hati yang pertama kali aku lakukan, walau terlambat. terimakasih "A", telah beri aku kesempatan untuk memperbaiki ini semua, telah ajarkanku ilmu dan hikmah yang sangaat berharga. terimakasih "A", terimakasih guru spesialku.

sejak kejadian selasa pagi itu, aku mulai memperbaiki sikapku pada "A". ternyata ketika ku gunakan sepenuh hatiku untuk "A", begitu ku ikhlaskan hatiku menerima segala kelebihan dan kekurangannya, "A" begitu mudah ku kondisikan. "A" pun menurut apa yang ku katakan. dan kini, setiap pagi saat tiba di sekolah dan siang hari saat akan pulang, "A" selalu menghampiriku dan menagih pelukanku sembari mengecup pipiku lembut... terimakasih "A", terimakasih atass hangatnya pelukanmu setiap hari, terimakasih atass lembutnya kecupanmu di pipiku, terima kasih atas kesempatan berharga ini. ternyata mencintaimu adalah anugrah indah yang diberikan oleh sang Maha Cinta. 

0 comments: