Selasa, 13 Agustus 2013

Indahnya Hukum di zaman Ali

Bismillahirrohmanirrohiim...

kalau beberapa waktu lalu saya pernah posting tentang keindahan hukum di zaman Umar, sekarang saya pengen sharing hukum zaman Ali yang ga kalah menarik. sengketa penguasa vs minoritas. begini kisahnya, cekidot!

baju besi milik Ali bin abi Thalib raib, hilang, lenyap saat persiapan tempur. berikutnya ia terlihat dipakai oleh seorang Yahudi. Ali sangat mengenali baju besi miliknya itu, maka disergahlah Yahudi itu dengan santun, "saudara, setelan dzir'a itu milikku!"

"jika ia melekat di tubuhku," tukas si Yahudi berkacak pinggang, "maka ia adalah milikku. anda ftak bisa mengaku sembarangan". "sebab aku sangat mengenali milikku, dan kau hanya mengaku dengan bukti melekatnya di tubuhmu, bagaimana kalau kita ber-takhim?" balas Ali

setelah berpikir sejenak, si Yahudi menjawab, "aku setuju, tapi siapa yang jadi hakim atas urusan ini?" "Syuraih" jawab Ali singkat

"apakah ia bisa berbuat adil, dimana aku seorang ahlikitab, sedang kau seorang Amirul Mukminin?" selidik si Yahudi khawatir


"demi yang mengutus Musa dengan Taurat, aku yang pertama-tama yang meluruskannya dengan pedang jika ia bengkok" ucap Ali tegas

maka pergilah mereka kepada hakim Syuraih. "selamat datang wahai Amirul Mukminin!" sambut Syuraih. dia menanyai kedua belah pihak.

"sudah 3 ketidak adilan kurasakan sejak masuk majelismu kurasakan hai syuraih!" tegur Ali. "luruskanlah atau kelayakanmu dalam mengadili batal!. pertama, kau panggil aku dengan gelar, sementara dia hanya nama. kedua, kau dudukan aku di sisimu, sementara dia dihadapan kita. ketiga, kau biarkan aku menjawab tanpa bantahan. sedang jawaban dia kau pertanyakan lagi." si Yahudi jadi heran nih liat unek-unek yang disampein Ali.

setelah beberapa hal diluruskan, Syuraih berkata "Amirul Mukminin, ini emang baju besimu yang jatuh dari kuda saat di Auraq. tap, untuk memutuskan ini memang milikmu, aku tetap membutuhkan dua orang saksi lelaki yang adil." jelas pak hakim syuraih panjang lebar

"maka ini Hasan da pelayanku Qanbur sebagai saksiku!" ujar Ali. "Qanbur bisa kuterima," jawab Syuraih, "tapi Hasan tidak. kesaksikan seorang anak untuk ayahnya tidak dapat diterima oleh pengadilan ini!" tegas Syuraih. Ali tercenung sejenak.

"tapi tidakkah kau mendengar," sanggah Ali, "Umar berkata bahwa Rasul bersabda, 'Al-Hasan dan Al-Husain itu penghulu pemuda surga?". "maaf," kata Syuraih sambil tersenyum, "aku tak menemukan dalil bahwa hal semacam itu bisa mengecualikan dalam hal persaksian."

maka Syuraih memutuskan bahwa baju besi itu jadi milik si Yahudi coz Ali gagal menghadirkan 2 orang saksi. ujung kisah ini, pasti dah pada hafal deh; karena tersentuh, si Yahudi masuk islam dan hendak mengembalikan baju besi milik Ali. tapi, Ali nolak. "tidak" kata ali, "kau skarang saudaraku, makabaju besi  itu, juga kuda ini hadiah dariku agar tumbuh cinta di antara kita."

jadi ga kebayang deh, gimana ekspresi si Yahudi itu, pasti klepek-klepek, ge-er dan meras istimewa. dianggap saudara sama seorang Amirul Mukminin... dahsyat!!

baik dari kisah Umar maupun Ali, terlihat bahwa hukum sebagai sistem tetap harus tegak prosedurnya, baik bagi penguasa maupun jelata, mayoritas ataupun minoritas. meski awal-awal rasa keadilan agak terusik. sebab "rasa" terlalu mudah dimainkan oleh kepentingan. ada kaidah "nahnu nahkumu bizh zhawaahir"; kita berhukum dengan apa yang tampak". semoga hukum di negri ini bisa lebih baik, meskipun prosesnya ga mudah dan ga singkat, jalannya panjang, sedikit pejuangnya, banyak bahayanya, melelahkan jiwa pula. tetapi, insya Alloh dengan izin Alloh ga ada yang ga mungkin.

Indahnya hukum di zaman Umar

BismiLLahirrohmanirrohiim

Disenin pertama bulan syawal ini izinkan saya mencercau sebuah kisah agung akan indahnya hukum dimasa khalifah Umar bin Khatab sang singa padang pasir.


gambar dari sini



disuatu hari Umar sedang duduk nyantai beralas surban di bebayang pohon kurma dekat masjid Nabawi, sedangkan sahabat-sahabat di sekelilingnya lagi syuting (SYUro penTING) ngebahas aneka persoalan. tiba-tiba, datang tiga pemuda menghadap Umar. dua bersaudara berwajah marah mengapit pemuda lusuh yang tertunduk dalam belengguan mereka.
"tegakkan keadilan untuk kami wahai Amirul Mukminin," ujar sesorang. "Qisashlah pembunuh ayah kami sebagai sangsi atas kejahatannya!"
Umar bangkit. "bertakwalah kepada Alloh," serunya pada semua. "benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda?" selidik Umar

Pemuda itu menunduk sesal. "benar wahai Amirul Mukminin!" jawabnya ksatria. "ceritakan pada kami kejadiannya" imbuh Umar.

"aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan berbagai urusan muamalah untuk kuselesaikan di kota ini. saat sampai, kutambatkan untaku di suatu tunggul kurma, lalu kutinggalkan ia.begitu kembali aku terkejut dan terpana. tampak olehku seorang lelaki tua sedang menyembelih untaku di lahan kebunnya yang tampak rusak terinjak dan ragas rigis tanamannya. sungguh aku sangat marah dan dengan murka kucabut pedangku hingga terbunuhlah bapak itu. beliaulah rupanya ayah kedua saudara ini." jelasnya panjang lebar.

"wahai Amirul Mukminin, engkau telah mendengar pengakuannya, dan kami bisa hadirkan banyak saksi untuk itu." ujar seorang penggugat

"tegalahkkanlah had Alloh atasnya!" timpal yang lain. Umar galau dan bimbang setelah mendengar lebih jauh kisah pemuda terdakwa itu."sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda yang shalih lafgi baik budinya, ia membunuh ayah kalian karena khilaf dan kemarahan sesaat. izinkan aku meminta kalian berdua untuk memaafkannya dan akulah yang akan membayar diyat atas kematian ayahmu" ucap Umar menengahi

"maaf Amirul Mukminin, kami sangat menyayangi ayah kami" sergah kedua pemuda dengan mata masih menyala merah, sedih dan marah. "bahkan, andai harta sepenuh bumi dikumpulkan untuk membuat kami kaya, hati kami hanya akan ridho jika jiwa dibalas dengan jiwa!" tambahnya

Umar yang tumbuh simpati pada terdakwa yang dinilainya amanah, jujur dan bertanggung jawab, tetap kehabisan akal meyakinkan penggugat.

"wahhai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Alloh, laksanakanlah qihsash atasku. aku ridho kepada ketentuan Alloh, hanya saja pintaku, aku mohon izinkan aku menunaikan semua amanah dan kewajiban yang tertanggung ini" Ucap terguugat gagah

'apa maksudmu?" tanya hadirin. "urusan muamalah kaumku, berilah aku waktu tangguh 3 hari untuk selesaikan semua. aku berjanji dengan nama Alloh yang menetapkan qisash dalam Al-Qur'an, aku akan kembali 3 hari dari sekarang untuk menyerahkan jiwaku" ujar sang pemuda

"mana bisa begitu!!" teriak penggugat kesal. "nak," ujar Umar, "tak punyakah kau kerabat dan kenalan yang bisa kau limpahi urusan ini?" tanya Umar pada sang pemuda

"sayangnya tidak Amirul Mukminin. dan bagaimana pendapatmu jika kematianku masih menanggung utang dan amanah-amanah lain kaumku?" jawab pemuda. "baik" sahut Umar, "aku memberimu tangguh 3 hari, tapi harus ada sesorang yang menjaminmu bahwa kau akan menepati janji untuk kembali."

"aku tidak memiliki seorang kerabatpun di sini hanya Alloh, hanya Alloh yang jadi penjaminku wahai orang-orang yang beriman kepada-Nya," rajuk sang tergugat

"harus ada orang yang menjaminnya!" ujar penggugat, "andai pemuda ini ingkar janji, siapa yang akan gantikan tempatnya untuk diqisash?"

"jadikan aku penjaminnya, hai Amirul Mukminin!" sebuah suara berat dan berwibawa menyeruak dari arah hadirin. itulah suara Salman Alf-Farisi.

"Salman?" hardik Umar, "demi Alloh, engkau belum mengenalnya! demi Alloh, jangan main-main dengan urusan ini! cabut kesedianmu!"

"pengenalanku kepadanya, tak beda pengenalanmu ya Umar, "ujar Salman, "aku percaya kepadanya sebagaimana engkau memercayainya."

dengan berat hati Umar melepas pemuda itu dan menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman baginya. tiga hari berlalu sudah. detik-detik menjelang eksekusi begitu menegangkan. pemuda itu belum muncul. Umar gelisah mondar-mandir. penggugat mendecak kecewa. semua hadirin sangat menghawatirkan salman. sahabat perantau negeri; pengembara iman itu mulia dan tercinta di hati RasuluLLoh dan sahabatnya.

mentari di hari batas nyaris terbenam; Salman dengan tenang dan tawakal melangkah siap ke tempat qisash. isak pilu tertahan. tetapi, sesosok bayang berlari terengah dalam temaram; terseok, terjerembab, lalu bangkit dan nyaris merangkak. "ITU DIAA" pekik Umar

pemuda itu dengan berkuah peluh dan nafpas terengah-engah ambruk di pangkuan Umar. "maafkan aku" ujarnya, "hampir terlambat. urusan kaumku memakan banyak waktu. kupacu tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat di gurun dfan terpaksa kutinggalkan, lalu kuberlari."

"demi Alloh," ucap Umar sambil menenangkan dan meminumi, "bukankah engkau bisa laari dari hukuman ini? mengapa susah payah kembali?"

sang terdakwa menjawab "supaya jangan sampai ada yang mengatakan di kalangan muslim tak ada lagi kesatria tepat janji" 

"lalu, kau hai Salman, " ujar Umar berkaca-kaca, "mengapa mau-maunya kau jadi penjamin seorang yang tak kau kenal sama sekali?"

"agar jangan sampai dikatakan," jawab Salman teguh, "di kalangan Muslimin tak ada lagi saling percaya dan menanggung beban saudara"

"Allohu Akbar!" pekik dua pemuda penggugat sambil memeluk terdakwanya, "Alloh dan kaum Mulimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya"

"kalian," kata Umar makin terharu, "apa maksudnya? jadi kalian memaafkannya? jadi dia tidak lagi diqisash/ Allohu Akbar! mengapa?" tanya Umar bertubi-tubi

"agar jangan ada yang merasa", sahut keduanya terisak, "di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan dan kasih sayang"


Subhanalloh...... demikianlah indahnya kisah hukum di zaman Umar Al-Faruq. moga ada hikmah yang bisa kita teladani