Jumat, 11 November 2011

Selaksa Kisah Miftah


"Tak tahu apa kini sebenarnya yang terjadi dalam hatiku. Entah resah, sedih, kecewa, galau, atau apa aku tak tau pasti, namun yang jelas ingin rasanya menangis sejadi-jadinya. Ingin q meraung-raung bagai anak kecil yang keinginanan dan pintanya tak terpenuhi. Begitu banyak hal terjadi dalam hidupku, dan seolah hal itu terputar di sliade memori ku." Desah hati miftah meluncur lirih.
Untuk kesekian kalinya miftah harus kecewa dan menerima segala sesuatu dengan lapang dada.
Mencoba mengingat kejadian beberapa tahun silam, ketika statusnya menjadi mahasiswa baru. Miftah ditakdirkan ALLOH untuk meneruskan pendidikannya di sebuah kota kecil nana asri dan nyaman.
Pagi itu ramadhan pertama dilaluinya sebagai mahasiswi, Ramadhan yang berkesan karena pertama kali dijalaninya  tanpa keluarga. Dihari pertama ramadhan, miftah mengikuti pelatihan dasar untuk masuk dalam suatu organisasi mahasiswa tingkat nasioanal. Tak banyak pesertanya, hanya 5 orang akhwat dan 5 orang ikhwan. Kantuk selalu menjalar di setiap sesi materi, tapi takbir yang menggema selalu mampu untuk menghadirkan ruh dan semangat.
Moment itulah pertama kalinya miftah bertemu dengan ihsan, seorang mahasiswa seangkatan dan sekampus dengannya. Berbagai diskusi dan perdebatan sering mereka alami selama masa pelatihan. Miftah benar-benar penasaran seperti apasih wajah ikhwan yang begitu semangat mendebatnya, namun keinginannya untuk mencari tahu tidak bisa terwujud, karena hijab yang terpasang membatasi ruang pertemuan mereka.
Hari pun berlalu, dan mereka semakin sering bertemu untuk aksi-aksi dan kegiatan kemahasiswaan lainnya. Berbagai tindak tanduk, sikap, perbuatan, pemikiran, pengetahuan dan pemahaman ihsan membuat miftah simpati. Perlahan ia pun mulai kagum dengan ihsan. Selera humor dan ketegasan yang sesuai kondisipun semakin menambah nilai ihsan di mata miftah.
“baru kali ini gw ketemu ikhwan gokil kek dia, tapi di satu sisi dia begitu berwibawa, bijak dan agamis, tapi kadang dia juga bikin gregetan” tulis miftah pada sebuah diary kesayangannya.
Semakin lama berinteraksi, semakin besar rasa kagum itu dan semakin miftah tahu bahwa banyak orang yang tersihir dengan pesona dan kharismanya. Tak sedikit sahabat miftah yang curhat mengenai isi hatinya terhadap ihsan, dan semua ini menghadirkan sebuah goresan dalam hati miftah.
Beberapa tahun berlalu, Miftah bertemu dengan Ihsan dalam suatu periode kepengurusan, dimana Ihsan menjadi “bos” miftah. Semakin seringlah ia berinteraksi. Ada rasa bahagia dan was-was dihati miftah untuk hal ini, bahagia karena ia bisa sering bersama dengan ihsan, dan was-was karena ia takut dengan perasaannya sendiri.
Miftah tahu, adalah sebuah larangan dalam agamanya untuk mengumbar rasa pada lelaki yang bukan mahromnya. Ia tahu agamanya tegas melarang setiap hambanya untuk mendekati zinah. Miftah beristigfar berkali-kali karena ia sadar telah melakukan zinah hati selama ini. Miftah pun mengkondisikan dirinya untuk lebih menjaga interaksi, dan perasaannya. Ia bertekat untuk lebih menghijabi diri. Ia pun bingung dengan perasaannya, apakah cinta, kagum atau hanya nafsu belaka. “astagfirulloh”, berkali-kali Miftah istigfar merenungi dan menyesali kesalahannya. Dan miftahpun bertekat untuk terus memendamnya hingga ke halalan itu tiba.
Waktu pun terus berlalu, miftahpun lulus dari kampusnya, dan ia tidak bisa menyelesaikan tugasnya hingga akhir kepengurusan karena miftah harus kembali ke daerah asalnya. Setelah surat pengunduran diri dan permohonan maaf ia sampaikan, tugas-tugas ia selesaikan, miftah pun berpamitan dengan 2 orang pembesar di organisasi itu, termasuk ihsan sedih rasanya miftah harus meninggalkan kota penuh kenangan ini, meninggalkan saudara-saudara yang selama ini memberikan pelajaran dan hikmah berharga tentang iman, islam, ukhuwah, ilmu dan hal-hal lain yang sangat bermanfaat. Dan tentunya miftah juga sedih karena harus berpisah dengan ihsan.
Sesekali miftah masih menjaga komunikasi dengan teman-teman kuliahnya, termasuk dengan ihsan.  Miftah kembali menghubungi Ihsan untuk meminta izin menginap sementara di kantor sekretariatnya untuk Rafah, adik laki-laki miftah yang akan kuliah dikampus yang sama dengan kampusnya hingga miftah mendapatkan tempat kos yang kondusif bagi adiknya. Setelah semua urusan kuliah dan kos Raffah selesai dan miftah kembali kedaerah asalnya, miftah tak pernah berjumpa dan berkomunikasi dengan Ihsan, hingga beberapa bulan kemudian, disaat Rafah pulang dan dia bercerita bahwa ia bertemu dengan Ihsan di masjid kampus.
“woi mas, kemana aja, lama ga ketemu, sekalinya ketemu bawa undangan” Rafah meledek Ihsan
“enak aja, ini bukan undangan ane, ini undangan orang lain, emang mba ente dah siap?” balas Ihsan
Dengan terkejut dan tergagap Rafah menjawab: “ belum….belum,mba saya belum siap, saya belum lulus dan mba saya masih mau kuliah lagi”
“ya udah makanya, ane bakal ngundang kalo mba ente dah siap, bilang ane ya kalo mba ente dah siap” sambung Ihsan
Dialog antara Rafah dan Ihsan yang kembali diceritakan Rafah pada Miftah membuat ingatan Miftah kembali pada perasaannya, dan ternyata rasa itu masih ada setelah sekian lama terkubur. Miftah pun senyum-senyum sendiri, tak ayal secercah harapan Miftah pada Ihsan muncul, lagi-lagi ia beristighfar untuk mengusir perasaan yang mengganggu hatinya. Miftah meneguhkan pada hatinya untuk tetap menjaga hati dan hijabnya dalam bergaul hingga saat yang halal itu tiba.
Miftah lebih giat menyibukkan diri dengan aktivitas kerja, organisasi dan mencari ilmu, hingga ia tidak kepikiran dengan rasa itu. Hingga suatu ketika, ada seorang laki-laki yang begitu peduli dan perhatian dengan Miftah, lelaki yang memberi sebuah harapan, dan ketika Miftah terhanyut dengan perasaan dan harapanpun mulai tumbuh dihatinya. Miftahpun hampir lupa dengan perasaannya pada Ihsan. Setelah beberapa lama, Miftah sadar akan kesalahannya, Ia kembali tak bisa menjaga hati. Miftah tak mau terjerumus dalam dosa karena perasaan yang belum halal, dan ia sampaikan itu pada lelaki tersebut, tetapi sikap lelaki tersebut sungguh diluar dugaan miftah, ia mengaku belum siap berkomitmen dan sikapnya selama ini wajar dia lakukan pada teman-teman perempuannya yang lain.  Astagfirullohal adzim, memberi harapan untuk menikah, memberi perhatian lebih, hingga hampir setiap saat selalu melaporkan kegiatannya, merupakan sikap yang wajar pada teman-teman perempuannya, sakit hati Miftah mendengar pengakuan lelaki itu, ia benar-benar tak habis pikir dan kecewa, bukan saja kecewa dengan harapan hampa selama ini, tapi kecewa dengan kebodohan dirinya sendiri. Miftah pun sadar dan bersyukur, hal ini cepat selesai. lelaki itu meminta maaf atas segala sikap dan perbuatannya yang tidak berkenan dan berjanji untuk lebih menjaga persahabatan dan pergaulan dengan lawan jenis serta memastikan bahwa silaturahminya dengan miftah akan berjalan lancar dan terjaga. Miftah pun mewngamininya.
Yang lebih menyakitkan lagi, ternyata lelaki itu justru mendekati teman Miftah dan rela mngorbankan dan menjahati Miftah demi menjaga perasaan wanita itu agar tak cemburu pada Miftah, hal itu miftah ketahui keteika menanyakan kenapa sikapnya berubah memusuhi miftah, “ q lebih memilih mengorbankan, ngejutekin dan ngejahatin Miftah daripada buat dia cemburu, dan aku tau dia juga dah ngejutekin miftah karena dia cemburu. Aku sadar miftah dah dijahatin dia, sekarang dijahatin aku, kalau kata pribahasa sudah jatuh tertimpa tangga pula, dan aku minta maaf atas semua kesalahan yang telah dan belum aku perbuat” dengan entengnya lelaki itu menjawab pertanyaan miftah
walau kesal, Miftahpun memaafkannya dan meyerahkan segalanya pada Rabbnya, ia yakin segala perbuatan akan berpulang pada sipembuatnya, dan ia hanya mengharapkan ampunan ALLOH atas dosanya selama ini. “semoga kejadian ini dapat menghapus dosa-dosa ku, agar ku ringan melangkah menemuimu duhai Rabbi, berikan aku keikhlasan dan ketabahan dalam menerima ini semua, lapangkanlah hatiku untuk memaafkan mereka” doa lirih Miftah. Perlahan ingatan Miftah kembali pada Ihsan, nilai Ihsan dimata Miftah semakin baik, belum pernah ia temukan lelaki seperti Ihsan, soleh, cerdas, bijak, punya selera humor, tegas dan seorang pemimpin yang baik. Miftahpun menjadikan Ihsan sebagai criteria ideal seorang ikhwan.
Sang waktupun kembali berjalan tanpa peduli kesiapan setiap mahluk dalam menjalaninya. Tak terasa umur Miftah kini sudah 24 tahun, keluarga besarnya meminta Miftah untuk menikah, meski Miftah belum berfikir kearah sana. Ternyata  beberapa waktu berselang, murabbiyah Miftah memberikan sebuah biodata ikhwan pada miftah, setelah mengalami proses, akhirnya Miftahpun di khitbah dan sebuah tanggal telah ditetapkan menjadi hari pernikahannya.
ALLOH lah pembuat scenario dan sutradara terbaik. Rencana yang telah disusunpun tidak terjadi. Miftah dan calon suaminya beserta keluarga besar mereka sepakat tidak meneruskan rencana pernikahan itu karena sesuatu hal. Miftah sangat lega dengan keputusan yang diambilnya. Berkali-kali syukur terlantun dari bibirnya. Tak ada yang dia sesali, setiap kejadian ini adalah bentuk lain dari kasih sayang Rabb-nya pada Miftah. Ia semakin yakin bahwa ALLOH hanya memberikan segala yang terbaik bagi dirinya, termasuk lelaki langit yang telah ALLOH tetapkan menjadi jodohnya. Mahasuci ALLOH sang maha pelindung dimana tidak ada perlindungan selain perlindungan ALLOH.
Hari-haripun dijalani Miftah seperti biasa, seakan tak terjadi sesuatu. Sejumput kisah yang terjadi pada Miftah menjadikannya lebih berhati-hati dalam memutuskan, lebih berhati-hati dalam menjaga hati. Ia memutuskan untuk tidak pernah memberikan hati dan perasaannya pada laki-laki yang belum halal untuknya. Ada segores luka dan perih dalam lubuknya. Ketika ia pertama kali mempunyai rasa terhadap lawan jenis, Miftah tak berani mendeskripsikan dan mengartikan perasaan itu. Ketika Miftah tidak peduli dengan segala permasalahan hati, hadir seorang lelaki yang seakan begitu peduli dan perhatian serta memberi harapan pada Miftah, begitu, kepedulian perhatian dan harapan itu dipertagas dan diminta komitmennya, lelaki pengecut itu tak berani dan malah menghadirkan luka pada Miftah. Ketika benar-benar ada lelaki yang berkomitmen dan melamarnya secara baik-baik, justru berakhir dengan pembatalan rencana pernikahan karena suatu fitnah dan kesalah pahaman. Semua itu membuat Miftah lelah. Beberapa kali teman-teman Miftah menawarkan seorang ikhwan pada Miftah, tapi ia selalu menolak. Bukannya menutup hati, tapi Miftah ingin memberikan istirahat pada hatinya. Sekedar rehat sejenak dari setiap kejadian bukti lain kasih sayang ALLOH. Miftah hanya ingin menerima siapapun itu bila hatinya telah siap. Dan kini ia memilih untuk lebih menata hati dan menata diri.
Beberapalama tak tau kabarnya, tiba-tiba Ihsan kembali hadir membawa undangan pernikahan dirinya dengan seorang akhwat yang juga teman kampus Miftah. Kejutan yang tak diduga dipagi hari. Miftah tak tahu apa yang ia rasakan. Ada kelegaan dan kepastian mengenai perasaannya pada Ihsan, dan tentunya ada kekecewaan, ternyata Ihsan bukan untuknya. Sesak begitu terasa di dada, sebutir air matapun terjatuh perlahan. Miftah tak tahu, bagaimana kedepannya yang jelas Miftah semakin meneguhkan hati dan dirinya untuk Tidak pernah berharap dan memberikan hatinya pada orang yang belum halal baginya. Mungkin ia akan menutup hatinya untuk sementara hingga saat yang tepat dan pada orang yang tepat kelak hati itu akan terbuka dengan sendirinya.



0 comments: