Kamis, 05 Mei 2011

Mengukur Cintamu Kepada Ortu

   
 
Ortu adalah teladan, guru, dan sekaligus pelindung kita. Betapa mulianya jasa mereka membesarkan kita. Dari kecil hingga segede sekarang ini. Apalagi ibu, beliau melindungi kita sejak masih dalam rahimnya sampai saat ini, dan insya Allah sampai akhir hayatnya. Kasih ibu memang sepanjang masa. Nggak pernah luntur di telan jaman. Nggak bakalan pudar dimakan usia. Amat besar cintanya kepada kita. Tinggal bagaimana cinta kita kepada mereka.
Sobat muda muslim, jaman berubah begitu cepatnya. Sampe-sampe kata Bung Ebiet G. Ade dalam sebuah lagunya, “Roda jaman menggilas kita. Terseret tertatih-tatih. Sungguh hidup terus diburu, berpacu dengan waktu…”. Bung Ebiet boleh jadi benar bersenandung begitu. Sebab, jaman kiwari ini, dampak perubahan jaman nggak selamanya berbuah kebaikan. Justru sebaliknya, adakala-nya terjadi perubahan ke arah kerusakan nilai.
Ambil contoh, ada anak yang tega membunuh ortunya. Mungkin masih ingat kejadian beberapa tahun lalu di Medan, seorang anak SMU tega membantai anggota keluarganya kakaknya, ibu, dan bapaknya. Aduh, entah setan apa yang merasuk dalam benaknya. Tapi yang pasti, energi cinta sang anak yang seharusnya dialirkan kepada ortunya, ternyata sudah habis tak berbekas, hingga tega “mengantarkan” mereka ke liang lahat secara paksa.
Berubahnya gaya hidup yang seperti inilah yang sangat kita khawatirkan, kawan. Di jaman penulis kecil, ortu adalah segalanya. Ayah memelototkan mata saja, tanda nggak suka dengan perbuatan yang penulis lakukan, rasa takut langsung memenuhi pikiran. Nggak berani balik memandang tajam ke arah wajahnya. Nggak. Nggak berani. Dengan ibu juga demikian, setiap kali ibu minta tolong, rasanya kok nggak enak kalo harus menolak. Meski adakalanya juga menolak, tapi kemudian merasa amat bersalah. Entahlah. Tapi yang pasti, penulis melihat itu secara objektif, kok. Sebab banyak juga teman-teman main penulis yang hormat dan patuh pada ortunya. Mungkin saat itu nggak banyak informasi rusak masuk ke rumah-rumah lewat televisi. Ya, bisa jadi. 
Kalo sekarang? Aduh, berubah total ketimbang 20-an atau 30-an tahun ke belakang. Kalo dulu, betapa rasa hormat kepada ortu masih tersimpan di lubuk hati yang paling dalam. Terawat dan terjaga dalam bingkai rasa cinta. Sekarang rasa cinta itu pudar menjadi sikap saling membenci dan penuh rasa curiga.
Hubungan anak dengan ortu aja sekarang makin kendor. Perhatian ortu yang mulai terbelah mungkin bisa menjadi sebab lunturnya kemesraan antara ortu dan anaknya. Gimana nggak, kalo dulu seorang ibu cukup di rumah menjaga anak-anak dan melindungi kehormatan keluarga, sekarang harus ikutan keluar rumah dan bekerja untuk menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Sebab katanya di jaman sekarang nggak cukup cuma mengandalkan tenaga suami. Meski sebetulnya banyak juga para ibu yang terseret arus karena nggak tahu apa-apa. Yang ia tahu hanya satu: emansipasi.
Akibatnya, mudah ditebak saudara-saudara, jarak antara anak dengan ortu menjadi renggang, dan itu banyak menimbulkan masalah. Rasa cinta dan sayang hanya dihargai dengan uang, bukan lagi perhatian dan sikap lemah lembut. Anaknya? Karena diajarkan seperti itu, ia mulai belajar membenci. Jangan heran pula bila kemudian anak menjadi musuh bebuyutan ortunya. Wah, gawat!
Sobat muda muslim, rasa sayang tidak bisa hanya diukur dari materi semata. Nggak. Nggak bisa. Itu sebabnya, dalam tulisan kali ini, kita berupaya merekatkan kembali hubungan antara ortu dan anak yang mulai retak dan hampir lepas. Dan alangkah indahnya bila kita mencoba berinisiatif untuk mencintai mereka. Insya Allah, ortu kita akan terharu dengan sikap kita. Lagipula, untuk berbuat baik, kenapa harus menunggu ortu menyapa kita? Tul nggak? Yup, salurkan energi cinta kita buat mereka. Walau bagaimanapun juga mereka berhak mendapat-kannya dari kita. Dan kita, wajib memberikan-nya. Itu pasti, biar tambah mesra!
Kita lahir karena “cintanya”
Suatu saat nanti, kamu akan tahu sendiri betapa bahagianya punya anak. Ortu kita juga demikian, rasa cinta mereka bersatu dalam ikatan pernikahan, lalu lahirlah kita, anaknya. Sebab rasa cinta adalah perwujudan dari naluri mempertahankan jenis. Buktinya apa? Banyak pasangan yang sudah lama menikah, merasa gelisah bila belum punya anak. Berarti di sini jelas, bahwa cinta berbeda dengan seks dalam pengertian hubungan biologis semata.
Setelah kita lahir, tanggung jawab ortu bertambah, yakni merawat dan membesarkan kita. Dan itu dijalaninya dengan rasa cinta dan sayangnya yang menggunung. Ayah kita rela berpanas-panas dan basah kuyup mencari uang untuk beli susu dan makanan kita. Adakalanya bagi para ayah yang kebetulan kondisi ekonominya termasuk golongan “alit” alias pas-pasan, mereka mencari nafkah harus dengan mengeluarkan keringat, dan bahkan juga darah. Kamu bisa lihat bagaimana para buruh kasar di pabrik, pasar, dan juga pelabuhan. Apa yang bisa kamu bayangkan saat melihat mereka tengah berjuang? Ya, itu bagian dari tanggung jawabnya. Dan jangan lupa, juga bagian dari rasa cinta mereka untuk anak dan istrinya.
Sobat muda muslim, pernahkah kita mengukur rasa cinta kita kepada ortu? Seberapa besar sih rasa cinta kita kepada ortu? Sebab, ada kalanya kita suka itung-itungan dengan ortu kita. Bener nggak? Misalnya, kalo kamu udah jagain adik, kamu suka minta jatah es krim sepulang ibu dari pasar. Apalagi yang berkaitan dengan pekerjaan beres-beres rumah, ujungnya kita suka minta imbalan uang atau barang lainnya. Malah ada juga di antara teman remaja yang masang “tarif” duluan sebelum bekerja. Kita bersedia melakukan pekerjaan itu, tapi ada syaratnya: ada uang jajannya sebagai “sogokan”. Kalo nggak, kagak pake deh! Walah?
Ada cerita menarik yang berhubungan dengan tema ini dari buku Chicken Soup for the Soul karya Jack Canfield dan Mark Victor Hansen. Dikisahkan ada seorang anak yang menyodorkan selembar kertas berisi tulisan semacam tagihan kepada ibu. Isinya: Memotong rumput 5 dolar, membersihkan kamar 1 dolar, pergi ke toko menggantikan ibu 0.5 dolar, menjaga adik waktu ibunya belanja 0.25 dolar, membuang sampah 1 dolar, untuk rapor yang bagus 5 dolar, dan untuk membersihkan dan menyapu halaman 2.99 dolar. Total utang ibu kepadaku: 14.75 dolar.
Si ibu menatap anaknya lekat-lekat, lalu mengambil bolpen, dan kemudian menulis di balik kertas tersebut. Isinya begini: Untuk sembilan bulan ketika Ibu mengandung kamu selama tumbuh dalam perut Ibu, Gratis. Untuk semua malam ketika Ibu menemani kamu, mengobati kamu, dan mendoakan kamu, Gratis. Untuk semua saat susah, dan semua air mata yang kamu sebabkan selama ini, Gratis. Kalau dijumlahkan semua, harga cinta Ibu adalah Gratis. Untuk semua malam yang dipenuhi rasa takut dan untuk rasa cemas di waktu yang akan datang, Gratis. Untuk mainan, makanan, baju, dan juga menyeka hidungmu, Gratis, Anakku. Dan kalau kamu menjumlahkan semuanya, harga cinta sejati Ibu adalah Gratis.
Setelah itu, si anak berkata kepada ibunya, “Bu, aku sayang sekali sama Ibu.” Dan kemudian si anak mengambil bolpen dan menuliskan dengan huruf besar: “LUNAS”
Nah, ini sekadar contoh aja sobat, betapa kita kadangkala suka itungan sama ortu kita. Kita mogok melakukan perintahnya, hanya karena uang jajan belum masuk kantong kita. Jangan lagi deh.
Wajib menghormati mereka
Emang sih, namanya hidup berdam-pingan, apalagi ini sama ortu kita, selalu aja ada gesek-gesek dikit mah. Ibarat piring-piring yang kita cuci, selalu aja ada gesekan, sekecil apapun. Namanya juga hidup bersama.
Menghadapi ortu nggak selamanya berjalan sesuai harapan, artinya nggak dapat masalah. Suatu saat bisa jadi kita sama-sama punya kepentingan. Di sinilah akhirnya kita kudu bersikap bijak.  Ya, kita coba untuk mengalah sobat. Misalnya aja kamu seneng nonton siaran langsung sepak bola. Tapi dalam waktu yang bersamaan ortu kita juga pengen nonton wayang kulit. Kalo sama-sama ngotot kan repot. Apalagi itu hobi beratnya. Wuih, bisa perang saudara itu.
Jangankan cuma urusan kecil model begitu, untuk urusan yang rada gawat sekalipun kita tetap kudu menghormati mereka, meski ada batasannya kita nggak boleh melaksanakan permintaannya untuk menyuruh maksiat.
Dalam kitab al-'Isyrah, Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Sa'ad bin Malik, dia berkata:

"Dahulu aku seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Setelah masuk Islam, ibuku berkata: "Hai Sa'ad! Apa yang kulihat padamu telah mengubahmu, kamu harus meninggalkan agamamu ini atau aku tidak akan makan dan minum hingga aku mati, lalu kamu dipermalukan karenanya dan dikatakan: Hai pembunuh ibu!" Aku menjawab: "Hai Ibu! Jangan lakukan itu". Sungguh dia tidak makan, sehingga dia menjadi letih. Tindakannya berlanjut hingga tiga hari, sehingga tubuhnya menjadi letih sekali. Setelah aku melihatnya demikian aku berkata: "Hai Ibuku! Ketahuilah, demi Allah, jika kamu punya seratus nyawa, lalu kamu menghembuskannya satu demi satu maka aku tidak akan meninggalkan agamaku ini karena apapun. Engkau dapat makan maupun tidak sesuai dengan kehendakmu". (Tafsir Ibnu Katsir III/791).
Rasa kesal sekalipun kepada ortu jangan pernah kita tunjukkan dalam sikap atau kata-kata. Bersabar, itu lebih baik bagi kita. Firman Allah Swt.:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (TQS al-Isrâ’ [17]: 23)
Walau bagaimanapun juga ortu adalah segalanya buat kita. Rasa hormat dan cinta kasih kita tetap untuknya. Kapan lagi kalo tidak saat ini. Sebab, inilah salah satu bentuk berbakti kepada mereka. Allah Swt. berfirman:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

"Aku bertanya kepada Rasulullah: "Amalan apakah yang dicintai oleh Allah" Beliau menjawab: "Sholat pada waktunya. Aku bertanya lagi: "Kemudian apa" Beliau menjawab: "Berbakti kepada kedua orang tua". Aku bertanya lagi: "Kemudian apa" Beliau menjawab: "Jihad dijalan Allah". (HR. Bukhari dan Muslim).
Sobat muda muslim, masih banyak ayat dan hadis yang berkaitan dengan persoalan ini. Kamu bisa eksplor lagi deh. Hmm.. betapa kalo kita mau sedikit bersikap bijak untuk merenung, ternyata cinta kita kepada ortu belum seberapa jika dibanding cinta ortu kepada kita. Salutnya, mereka nggak pernah itungan sama anaknya. Subhanallah. Yuk, kita bahagiakan mereka, kita cintai dan hormati mereka berdua. Tapi bagaimana bila mereka justru menyuruh berbuat maksiat? Jangan penuhi permintaan-nya, tapi kita tetap menghormatinya. Tugas kita adalah mengingatkan aja jika mereka berbuat salah. Itu kan lahan dakwah juga. Tul nggak? Kita belajar mencintai mereka sepenuh hati. Ridho Allah bergantung kepada ridho mereka, lho.
_________________________
Buletin Studia Bogor Edisi 081/Tahun ke-3

0 comments: