Selasa, 10 Mei 2011

Lorong Kerinduan

“Bunda, makan yuk!”
Aku hanya menggeleng, tak ada nafsu makan.
“Bunda menunggu ayahmu, Nak”kataku dengan senyum penuh terpaksa.
“Bunda makan dulu, nanti kalau ayah datang bunda kelihatan sehat dan cantik. Kalau seperti ini kurus, nanti ayah nggak kenal lagi sama bunda. Makan yuk bunda!”
Mataku berbinar, berharap setelah selesai aku makan, aku akan kelihatan lebih cantik jadi suamiku akan segera menemuiku. Aku pun melahap semua makanan yang telah disediakan anaku, Dinda.
“Alhamdulillah, begitu donk bunda! Jadi bunda kan kelihatan lebih cantik.” Dinda tersenyum manja terhadapku.
“Ayahmu kok belum datang juga ya Dinda, padahal bunda sudah cantik begini,”kataku sambil memainkan rambutku yang sedikit kusut karena sudah jarang aku sisir.
“Sabar ya bunda, mungkin sebentar lagi ayah datang.”
“Jilbabnya bunda mana ya Dinda? Masa bunda bertemu ayah nggak pakai jilbab, kan malu.”
Dinda segera mengambilkan jilbabku di kamar.
“Hai Dinda,” seorang ibu menyapa Dinda.
“Hust.. sana, pergi kamu. Jangan dekati anakku!”kataku sambil melotot. Ibu itu lari ketakutan.
“Bunda,dia kan temannya bunda. Masa begitu sama temannya.”
“Bunda nggak punya teman kayak dia. Dia suka godain ayahmu!”
Aku cuek saja sambil mengenakan jilbab merah jambu kesayanganku. Jilbab pemberian suamiku tercinta. Aku melirik Dinda yang sedang menggelengkan kepalanya mendengarkan penuturanku.
***
“Ayahmu sudah nggak sayang lagi sama bunda ya Dinda?”kataku ketika Dinda sedang melepas lelah disampingku sepulang kuliah.
“Sayang kok bunda. Kata siapa ayah udah nggak sayang lagi?”Dinda mulai menatapku lekat.
“Buktinya ayah nggak merindukan ibu, dia nggak datang kesini. Bunda kangen sama ayahmu, tapi sepertinya dia tidak peduli lagi sama kerinduan bunda.”
Aku memainkan jilbab merah jambuku yang selalu bertengger manis di kepalaku, meski sudah 2 hari tidak aku lepas karena kerinduanku yang mendalam.
Tiba-tiba Dinda menangis dipangkuanku.
“Bunda, sadarlah! Ayah tidak mungkin kembali. Ayah sudah meninggal tahun lalu karena kecelakaan!”
Aku melonjak berdiri.
“Jangan bohongi Bunda!”
Aku menarik jilbab Dinda, mengguncang-guncangnya. Hampir saja aku mencakarnya. Aku tidak lagi peduli dia anak semata wayangku.
“Suster…Suster..tolong..Bunda ngamuk lagi!”Suara Dinda menggema. Tiga orang wanita berpakaian putih segera mencengkramku kuat-kuat. Lamat-lamat aku masih bisa mendengar Dinda.
“Ikhlaskan ayah, Bunda. Aku masih butuh bunda, aku kesepian tanpa bunda. Ayah juga nggak akan kembali meski bunda seperti ini terus. Aku merindukan bunda. Sadarlah bunda!”
Tangis Dinda memecah keheningan di antara butir-butir pasir kerinduan yang teramat sangat. Langkah kaki cepat Dinda masih kudengar jelas dibentangan lorong panjang , lorong Rumah Sakit Jiwa penghubung kerinduanku.
========================================
Kita sangat sulit melupakan orang yang kita cintai, bahkan sampai gila karenanya. Tapi kenapa kita begitu mudahnya melupakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bahkan kita lebih tergila-gila pada makhluk-Nya daripada Pencipta makhluk-Nya? Renungkan sahabat :)


copas dari :http://www.bukanmuslimahbiasa.com/2011/04/lorong-kerinduan.html

0 comments: